2011-09-13

Puasa-Puasa Kok Menerobos Lampu Merah

Sore itu, Selasa (8/8) tim kecil kami, Saya sendiri, Agus Wandi (fundraising) Anton (Fotografer), Afin dan Yuliani (penunjuk jalan) serta dua orang dari catering yang membawa paket nasi. Berangkat menuju lokasi pembagian Paket Berbuka yang merupakan program rutin kantor saya setiap Ramadhan. Dan tahun ini, saya ditunjuk menjadi koordinator. Dengan menggunakan lima motor, kami berempat termasuk dua orang dari pihak catering, berkonvoi menuju tiga titik lokasi pembagian.

Ketiga titik tersebut terletak di Kecamatan Sako dan Kecamatan Sematang Borang Palembang. Dan sesuai tujuan dari program tersebut, daerah-daerah yang dipilih haruslah daerah pinggiran. Setelah mengukur waktu, jam 16.00 kami konvoi, meninggalkan halaman kantor. Belajar dari hari-hari sebelumnya, waktu pembagian tidak sampai setengah jam per titik. Jadinya, walau baru keluar menjelang orang bubaran kantor, mudah-mudahan bisa tepat waktu.

Tapi dasar takdir, siapa yang bisa menebak. Baru berjalan sekitar 500 meter, motor yang ditumpangi oleh pasangan suami istri, Afin dan Ani pecah ban. Kami yang berada di depan, menghentikan motor. Lama ditunggu, akhirnya kami disuruh duluan dan janjian saja di depan Kantor Camat Sako.

Kami pun langsung tancap gas memecah kemacetan parah di sepanjang Simpang Patal hingga Simpang BLK. Jauh rek, ada sekitar 3 km! Walau demikian, kami tetap menjaga kecepatan motor. Dua motor catering saya lihat di spion, terseok-seok menyelip di antara kemacetan kendaraan. Dengan tas bagasi besar di kiri-kanan motor, membuat motor mereka tak bisa lincah mengelak. Sedikit tersaruk-saruk mereka coba mengimbangi motor kami.

Selepas Simpang BLK, lalu lintas mulai lancar. Kami berdua kerajingan menarik gas dan lupa dengan kedua motor catering tadi. Di Simpang Dogan, saya suruh Agus Wandi duluan. Saya mau menunggu motor catering. Hampir 15 menit yang ditunggu tidak muncul-muncul. Saya khawatir, jangan-jangan mereka pecah ban juga. Atau malah tersesat. “Ah, masak sih bisa sesat di Palembang, kota kecil seperti ini?” bathin saya.
Akhirnya yang ditunggu, muncul juga. Dari kejauhan, senyum malu yang lebar menghias muka mereka. “Kelewatan Mas, kirain jalan lurus”, ujar salah satu dari mereka. Hah, benar rupanya. Ya udah, saya suruh mereka di depan saya mengiring saja.
Anton (Fotografer) kusut menunggu di Simpang camat Sako

Setiba di tempat yang dijanjikan, depan Simpang Kantor Camat Sako, kami berhenti. Menunggu Afin dan Ani tadi. Hampir dua puluh menit kemudian, baru nampak mereka. Saya mulai was-was. Jam sudah pukul 17.10, sedangkan masih ada tiga titik pembagian. Ya sudah, berhubung mereka yang paham dengan lokasi, apa boleh buat.

Titik pertama di daerah Sako, segera dibagikan. Setelah itu kami segera menuju lokasi kedua di Sri Mulya. Ternyata jarak yang ditempuh cukup jauh juga. Susah untuk mengukur jarak pastinya. Harus lewat jalan yang senantiasa padat menjelang Maghrib. Kemudian belok di pertigaan Simpang Bombat, menyusuri jalan Celentang, terus masuk ke jalan protokol Mayor Zen.

Nah di sinilah ‘petaka’ itu muncul. Pada waktu masuk ke jalan Mayor Zen, salah seorang dari catering tadi terhalang Bus Trans Musi yang hendak belok ke kanan. Sedangkan tujuan kami ke arah kiri. Bukan perkara gampang untuk mengelak dari ekor bus Trans Musi yang sedemikian panjang. Akhirnya, Akang ini pasrah saja dalam hati, “Nah, bakal kehilangan rombongan ini”.

Sedangkan kami yang di depan ngebut berpacu dengan waktu buka yang tak sampai hitungan jam lagi. Motor yang dibawa Afin dan Ani, melaju kencang di depan. Disusul oleh Agus Wandi, kemudian salah satu motor catering dan Anton. Saya hanya bisa melihat punggung motor Anton. Tapi di satu sisi, saya teringat dengan catering di bagian belakang. Sehingga, grip gas saya tarik, antara takut dan tidak tega. Takut nanti ketinggalan dengan rombongan di depan. Tidak tega juga kalau sampai ninggalin salah seorang catering di bagian belakang.

Dari jauh terlihat lampu merah. Haduh! Warna hijaunya mulai berkedip tanda mau segara berganti menjadi merah. Bener-bener gambling di sini, walau kecil kemungkinan lolos dari lampu merah, saya nekat menerabas. Saya tarik gas kuat-kuat, melampaui lampu merah tanpa ampun. Nyaris, sayap motor saya menghantam dua ban sepeda motor yang sudah setengah jalan menyeberang.

Huff!! Maafkan Aku Tuhan! Lagi on fire..

Selepas jebakan lampu merah, saya tak melihat lagi motor Anton tadi. Lha, ketinggalan saya. Tapi tidak mungkin saya lebih ngebut lagi. Terus teringat dengan satu motor catering yang ada di belakang. Karena, intip dari spion, motornya tidak pernah kelihatan.

Saya melaju terus, perasaan cemas mulai hinggap. Walau sesekali saya kebutkan motor, tak kelihatan juga motor rombongan di depan saya tadi. Hingga akhirnya saya tiba Simpang Pusri (disebut demikian karena sudah dekat dengan pabrik PT PUSRI). Ah, ini jelas sudah kehilangan jejak. Saya pun menghentikan sejenak sepeda motor tak jauh dari pasar beduk yang digelar di dekat situ. Saya coba kontak nomor teman-teman yang lain, semuanya nggak ada yang nyambung. Apa mungkin mereka di luar coverage sinyal? Cuma nomor XL punya si Anton yang nyambung, tapi nggak diangkat. Saya kontak lagi, sudah mailbox. Waduh, kayaknya habis batre deh. Kirim SMS lain ke teman yang lain, dengan harapan, kalo ada sinyal sedikit bisa masuk.

Saya menunggu sambil lihat timeline Twitter dan buat status di Facebook :
LOST IN SIMPANG PUSRI (MOMEA) !

Selebihnya menunggu! Wedew, lagi-lagi harus menunggu.

Saya termangu memperhatikan sejenak di sekeliling saya. Lalu lintas sore itu cukup padat, apalagi menjelang waktu berbuka. Ibu-ibu dan remaja putri tampak sibuk memilih menu berbuka di dalam pasar beduk, sedangkan bapak-bapaknya menunggu di dalam mobil atau di atas motor yang dinaungi pohon jalan yang rindang. Ada yang leyeh-leyeh di atas kursi sopir, ada yang menelungkup di atas dashboard motornya, lemas banget.

Tiba-tiba, telpon masuk. Saya liat dari Agus Wandi, “Oi kando, di mano?”.

“Di Simpang Momea dekat PUSRI”, jawab saya kesenangan, karena tidak jadi berbuka di jalan.

“Noh, kelewatan jauh tuh. Kamu balik lagi ke simpang lampu merah tadi, terus belok kiri”, jelasnya.

“Eh?”, saya bengong. Wadooh.., ini gara-gara menerobos lampu merah tadi rupanya. Sampai nggak ngeliat mereka pada belok ke kiri.

“Itu teman catering tadi ada sama ente nggak?”

“Enggak”. Saya bengong lagi, artinya bukan saya sendiri yang tersesat rupanya. Nggak malu sendirian nih..

“Iya entar saya cari dia di jalan”, jawab saya sekenanya.

Saya terpaksa memutari Simpang Pusri (Momea), dan berbalik arah menuju Simpang Lampu Merah ‘keramat’ tadi. Beruntung, saya berpapasan dengan Akang catering di jalan seberangnya.
Terpaksa lagi saya putar jalan dan menyambangi sang Akang. Kaget campur senang wajahnya melihat saya. Segera setelah mengurangi kecemasan masing-masing dan menertawai nasib kami berdua, kami segera cabut berbalik arah dan menuju simpang lampu merah.

Berdasar petunjuk via telpon tadi, kami akhirnya menemukan mereka. Rupanya, dari Simpang Lampu Merah masih masuk ke dalam hingga beberapa kilometer. Sehingga, saat saya lirik jam tangan, tinggal lima belas menit menuju waktu berbuka. Waduh, padahal masih ada satu tempat lagi yang harus dikunjungi, yakni daerah Lebung Gajah. Sedangkan wilayah Suka Mulya, telah selesai digarap teman-teman, sembari saya tersesat tadi.

Pasrah saja sore itu. Mana teman-teman pada nyengir setiap melihat saya. Terbayang, betapa saya akan menjadi olok-olokan teman sekantor keesokan harinya. Apalagi ketika tiba di Masjid yang telah ditunjuk sebagai tempat penyerahan, langit senja mulai menaungi. Saya pasrah saja, tidak bisa berbuka dengan anak dan istri sore itu. Tapi berbuka di masjid bersama teman-teman satu tim.

Itulah kenangan yang melelahkan namun lucu. Pahit tapi geli. Tapi semuanya terbayar melihat senyum para dhuafa saat menerima paket-paket berbuka tersebut. Apalagi, dua hari berikutnya, tulisan pembagian paket berbuka yang saya buat, dimuat di salah satu harian lokal.
Masuk koran
Alhamdulillah ya..
---------------------------------


2011-09-09

Komik Propaganda#02 : Dari Black Campaign hingga Premanisme

Tags
Komik Strip, Komik Indonesia, Propaganda Comic

Salah satu isu yang paling sering muncul dalam sebuah kampanye, termasuk pula kampanye pemilihan Gubernur Sumatera Selatan tahun 2009 yang lalu adalah aksi premanisme. Perusakan bendera dan alat peraga kampanye, sabotase, pelarangan kegiatan yang meibatkan massa.

Memang, tidak dalam sepengetahuan sang kandidat sendiri. Namun, tindakan tersebut ada. Minimal di tingkat grass-root atau bagian tim suksesnya. Sentimen yang berlebihan terhadap calon lain, menyebabkan timbul kecemburuan. Sehingga terwujudkan dalam perilaku yang tidak wajar.

Walau demikian, apapun motifnya tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Karena bisa mengganggu jalannya proses demokrasi. Maka muncullah apa yang disebut black campaign, character assessment, hooliganism dan sebagainya.

Yang paling kentara dalam ajang pilgub sumsel adalah pelarangan kegiatan Berobat Gratis. Salah seorang kandidat, yang notabene mantan anak buah kandidat lain yang incumbent, menggelar aneka ragam aksi sosial dalam rangka menarik simpatik. Seperti donor darah massal, pengobatan gratis, dan sebagainya.

Di mana salah satu calon, berkampanye menggunakan kegiatan sosial seperti tindakan kesehatan gratis, aksi sosial dan lainnya.

Entah disengaja atau tidak, timbul resistensi di pihak lain. Mulailah muncul penolakan pemakaian masjid untuk kepentingan pengobatan gratis (kampanye), pembubaran kegiatan hingga aksi pelarangan terhadap fotografer yang ingin meliput aksi pelarangan tersebut. Sekali lagi, ini semua terjadi tetapi sulit untuk dibuktikan apalagi sampai diberitakan.

Aksi ini akan terus terjadi, sampai semua menjadi dewasa dalam berdemokrasi. Atau memang demokrasi tidak cocok dengan budaya Indonesia yang cenderung feodalis dan agraris. Di mana setiap calon, didukung secara fanatik buta. Atas nama motif kekeluargaan, idealisme, atau uang sekalipun. Wallahualam..

2011-09-07

Komik Propaganda#01 : Polusi Pariwara Politik

Tags
Seperti janji saya sebelumnya, saya akan memposting beberapa contoh karya komik strip saya yang mungkin masuk ke dalam kategori komik propaganda (atau komik PSA?). Bukan komik panjang memang, hanya komik strip yang dimuat setiap minggu di salah satu tabloid, yang juga punya hidden agenda

Sebenarnya, ini hanya tuntutan profesional saja. Saya dibayar, maka saya menggambar, bukan karena pendukung fanatik pasangan calon. Lagian juga, wilayahnya juga masih di wilayah abu-abu - masih menyimpan sedikit terang. Jadi saya masih berpikir positif saja selama bekerja di tempat tersebut.

Komik di bawah ini dibuat dalam masa kampanye pemilu Gubernur Sumsel, tahun 2009 - 2014 yang lalu. 

Mang Badar, Comic as Campaign Tool
Salah satu amunisi kampanye yang menjadi sasaran tembak para kandidat adalah isu pendidikan dan kesehatan. Salah satu kandidat yang sebelumnya menjabat sebagai bupati di Musi Banyuasin, mengusung Pendidikan dan Pengobatan Gratis. Sedangkan kandidat kedua, yang juga incumbent, melawannya dengan jargon Pendidikan dan Pengobatan Gratis Berkualitas

Apapun itu, yang terlupa adalah objek penderita adalah tiang listrik, pohon pelindung jalan, taman jalan, trotoar dan lainnya. Hampir di setiap sudut kota, terpasang alat peraga kampanye. Ibaratnya, tak sejengkal tanah yang terlewatkan untuk memasang baliho, pamflet, stiker maupun spanduk.Benar-benar penyebab 'polusi' pariwara politik.

Sebenarnya ini menjadi permasalahan di tempat-tempat yang lagi berpesta demokrasi (katanya sih..). Menjadi semacam identitas umum, yang menandakan adanya perhelatan kampanye. Meriah memang, tapi tidak semua orang bisa menikmatinya. Apalagi, seusai kampanye berlangsung. Sangat sedikit, orang-orang dari bagian tim sukses para kandidat yang sukarela membersihkan alat peraga kampanye, walaupun setelah masa kampanye tersebut ada masa tenang. Terutama stiker dan pamflet yang menempel di dinding rumah warga dan spanduk serta bendera yang dibiarkan lusuh terkoyak berbulan-bulan lamanya..

Bagaimana kalau setiap atribut kampanye yang digunakan dikenakan pajak saja? Tujuannya, agar tak sembarang menempel. Agar tim sukses dan Satpol PP punya data di mana lokasi pemasangan atribut resmi. Sehingga, Timses bisa dipaksa untuk membersihkan atribut yang ada. Selebihnya, warga bisa menolak penempelan atribut yang menggangu keindahan dan tidak memiliki izin resmi.

Kalo soal himbauan, tidak kurang banyaknya. Namun, telinga orang Indonesia ini sudah kapalan dengan himbauan dan nasihat. Mereka baru ngeh dengan pajak dan denda. Baru merasa penting kalau sesuatu itu ternyata memang ada nilai rupiahnya.

Ah, terlalu kejam juga rasanya...

2011-09-06

Menyoal Komik Propaganda

Tags
Komik Propaganda -- Komik seharusnya independen, terutama apabila ia telah bersangkutan dengan wilayah politik atau kekuasaan. Namun, karena banyaknya motif seniman atau artis komik di belakangnya, maka lahirlah definisi komik propaganda. Komik propaganda digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk menyoroti pengaruh kekuasaan melalui media komik. Propaganda komik yang pernah saya ingat adalah komik tentang peristiw Serangan Umum 1 Maret. Di mana dalam komik tersebut, sangat dominan menyoroti peran Letkol Soeharto.


Ditilik secara historis, komik Indonesia pernah membawa tugas berat dalam bentuk ide-ide politik pada zaman mereka. Paling tidak ini salah satu sisi positif dari komik ber-'pesan berat' ini. Berikut periodisasinya :
 

Periode penjajahan 
Melawan VOC (Pemberontakan Trunodjojo), Terhadap Hindia Belanda (VOC) (Pattimura), Perlawanan terhadap Jepang (Pembebasan; Srikandi Tanah Minang), terhadap sekutu (Pejuang Tak Kenal mundur), dll
 

Revolusi Fisik 
Toha Pahlawan Bandung, Monginsidi, peristiwa pembebasan Irian Barat (Puteri Tjendrawasih, Pahlawan Kembali; Bentjah Menggolak), agresi melawan Inggris dengan geng Malaysia (Kadir dan Konfrontasi, Hancurlah Kubu Nekolim)

Kelompok aktivis juga menggunakan gerakan komik subversif melawan pemerintah yang berbeda ideologi: (Udin peluru, Melati di Sarang Pemberontak).


Semasa Indonesia sempat berjaya di panggung Internasional, di bawah Soekarno, muncul komik propaganda tentang "mimpi", bahwa Indonesia berhasil mengirim roket ke ruang angkasa oleh astronot Indonesia, bangsa Indonesia menjadi contoh dan dipuji oleh negara-negara lain .
 

Bahkan Partai Komunis menyebarkan komik yang dibuat di Uni Soviet dan Cina untuk kemudian dicetak dan didistribusikan di Indonesia, mereka juga membawa komik "Insiden Indramayu", di mana orang-orang di provokasi untuk melakukan perlawanan kepada polisi, secara paksa merampas tanah dan membagi tanah yang sama kepada orang-orang miskin.
 

Komik panganut sekularitas yang membawa Mar, seorang muslim yang saleh, tetapi memiliki konflik dengan Ina, kekasihnya yang Katolik. Contoh lain adalah propaganda pemerintah komik dalam rangka untuk bergabung dengan transmigrasi (Amelia perintis di Rimba Kalimantan)


Itu adalah salah satu bacaan saya sebagai seorang anak. Kini, saat telah dewasa, saya malah terlibat dalam pembuatan komik propaganda. Tepatnya ketika saya bekerja sebagai ilustrator di salah satu surat kabar yang dimiliki oleh seorang pejabat kaya, yang saat itu masih berposisi sebagai Bupati dan hendak mencalonkan diri menjadi Gubernur. Bagi saya, mengerjakan komik propaganda ini, setengahnya profesional, setengahnya lagi makan hati...
 
Insya Allah ..., pada posting selanjutnya, saya akan muat beberapa karya berbau komik propaganda.