2011-11-27

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat : Belajar dari Seorang Ramaditya

"..saat Anda membuka mata, maka Anda akan kembali melihat dunia Anda. Sedangkan saya tetap dalam kegelapan tak bisa melihat.." 
Eko Ramaditya Dika
Namanya Eko Ramaditya Dika, saya mengenalnya pada saat roadshow Breaking the Limit di tahun 2009 yang digawangi oleh Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa (DD) Republika. Walaupun terlahir disabilitas sebagai tunanetra, semangat yang tinggi memerangi keterbatasannya itu, sempat menjadikan Ramaditya seorang motivator dengan cosplay khas Jedi-nya.

Saya sempat mewawancarainya saat jeda roadshow tesebut. Dan tidak seperti yang disebutkan di dalam bukunya, BLIND POWER : Berdamai dengan Kegelapan bahwa saat lahir ia hanya mewarisi penglihatan lemah, Low Vision 10%. Saat wawancara, ternyata ia mengaku kalau disabilitas penglihatannya total alias 100% buta. Saat ditanya mengapa ia menulis seperti itu? Ia menjawab, "Saya tak ingin menambah kesedihan ibu saja". Sebuah kompromi seorang penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang masih diskriminatif.  
Ramaditya dan Cover Bukunya
(Sumber : Indonesiabuku.com)
Eko Ramaditya Dika, penyuka game komputer dan pemburu musik game ini, menjadi terkenal karena kemampuannya meniru musik game favoritnya, mampu mengoperasikan komputer dan ternyata juga seorang blogger tunanetra.

Ia sempat membuat heboh dengan klaim bahwa ia turut serta dalam menggubah beberapa musik game buatan salah satu vendor game asal Jepang. Keheboan itu memuncak saat di tahun 2010 ia sendiri membuat pengakuan bahwa apa yang ia klaim itu ternyata bohong belaka. Menurutnya, semua bermula saat salah satu media game online mewawancarai dirinya, dan ia iseng saja mengiyakan saat ditanyakan apakah pernah terlibat dalam pembuatan musik di salah satu musik game.

Pengakuannya memang sempat membuat heboh, karena orang merasa dibohongi olehnya. Bukunya sendiri sempat ditarik dari peredaran oleh penerbitnya. Dan ia meminta maaf kepada seluruh penggemarnya, rekan wartawan dan blogger. Karena bagaimanapun, ia sama sekali tidak menyangka pernyataannya tersebut memberikan efek branding yang luar biasa bagi pencitraan dirinya. Sebuah tindakan ksatria dari seorang penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang masih diskriminatif.

Kasus pengakuan atas kebohongannya tersebut tidak sempat meluas, karena sifat jantannya untuk mengakui apa yang diperbuat oleh salah seorang penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat justru berdecak kagum. Ramaditya, memang tidak terjerumus terlalu dalam dengan 'kebohongan'nya itu. Tidak sampai bertahun-tahun.

Saya tidak ingin mengulang lagi tentang sensasi yang ia lakukan. Karena setiap orang pasti pernah berbohong, tak peduli mereka yang berindera lengkap ataupun orang seperti Ramaditya dengan disabilitas dan pandangan masyarakat yang begitu mudah mengagungkan orang lain sepintas saja tanpa sempat melakukan cross-check. Apalagi menjadi godaan setiap orang ingin merasakan keternaran.

Kutipan di awal tulisan ini, penulis catat dari seminar motivasi yang diisi olehnya. Pada seminar tersebut ia juga mempraktekkan bagaimana ia bermain seruling, bagaimana ia mampu mengetik cepat di laptop dengan tingkat kesalahan pengetikan (typo) nyaris 0% serta bagaimana ia mempraktekkan cara menelpon dan berkirim SMS dengan hapenya yang telah dilengkapi dengan aplikasi screen reader. Sebuah keahlian yang mengagumkan dari seorang penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang masih diskriminatif.

Seminar motivasi tersebut benar-benar membuka mata saya, tentang penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang masih memperlakukan mereka secara diskriminatif. Mereka bisa hidup sebagaimana orang lain dan bahkan lebih!

Selama ini, saya sering membayangkan bagaimana seorang tunanetra mampu menjalani kehidupannya dalam gelap. Bagaimana dalam keterbatasan tersebut ia harus mengandalkan bantuan orang lain. Dan bagaimana kondisinya tersebut sangat potensial untuk mengundang rasa iba orang lain. Sebuah potret buram dari penyandang disabilitas yang senantiasa dipandang masyarakat sebagai pihak yang lemah.

Sayang, praduga saya itu tentang eksistensi penyandang disabilitas dan begitu juga pandangan masyarakat pada umumnya ternyata keliru. Dari sosok Ramaditya inilah, saya baru tahu, bahwa seorang penyandang disabilitas mampu mandiri. Hanya bermodal walking stick saja, seorang penyandang disabilitas seperti Ramaditya mampu pergi sendiri ke toko komputer, membeli laptop idamannya. Naik biskota seorang diri tanpa khawatir akan tersesat harus turun di mana. Walau pada kenyataannya, beberapa tempat belumlah ramah bagi penyandang disabilitas seperti Ramaditya.

Tapi, mungkin tidak salah juga bila stereotype kebanyakan orang melabel lemah tak berdaya kepada para penyandang disabilitas. Kenyataan bahwa ada sebagian dari mereka  yang memanfaatkan kekurangan fisik untuk mengundang rasa kasihan orang lain -- seperti yang ditemui di perempatan jalan. Sehingga menjustifikasi pendapat sebagian orang tersebut.

Selama ini juga saya sering mengacuhkan bahkan mencela penyandang disabilitas, yang 'berani' berjalan sendirian di tempat umum. Di satu sisi saya sering berpikir hal itu akan merepotkan orang lain. Sedangkan di sisi lain, hati saya mengatakan biarkan saja toh hal tersebut bisa menjadi ladang amal orang lain walau hanya sekedar menunjukkan tempat atau menuntunnya membantu menyeberangi jalan.

Tapi saya tidak pernah berpikir dari sisi mereka. Bahwa pada dasarnya mereka tidak ingin merasa dikasihani atau melulu dibantui. Kenyataan bahwa mereka berani keluar rumah sendirian saja itu sudah menunjukkan bahwa mereka ingin mandiri. Tinggal masalahnya adalah, ketersediaan infrastruktur yang memadai bagi para penyandang disabilitas sehingga mereka bisa menjalani benar-benar mandiri layaknya orang berpenglihatan normal.

Kemandirian Penyandang Disabilitas dan Pandangan Masyarakat
Pemikiran tentang kemandirian ini seharusnya bisa menjiwai setiap orang. Dan bahkan sudah seharusnya dimulai dari usia dini. Di mana dalam usia tersebut, anak-anak harus dididik untuk menerima keadaan teman mereka yang tak sesempurna mereka. Walau mungkin dalam keadaan tertentu anak-anak dengan disabilitas harus disekolahkan di tempat yang istimewa.

Anak-anak harus belajar menerima perbedaan. Apalagi perbedaan fisik tersebut adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Semangat untuk mengakui adanya perbedaan dan tidak menganggap perbedaan tersebut sebagai sesuatu yang tercela, menjadi pola pikir yang harus ditanam sejak dini.

Bagaimana pun, unia anak-anak adalah cerminan dunia orang dewasa. Selagi orang dewasa yang ada di sekitar mereka masih menunjukkan perilaku negatif terhadap penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang masih diskriminatif, atau tidak ada penjelasan khusus yang mengena dengan persoalan ini, maka mereka akan menunjukkan sikap yang sama.

Kartunet sebagai sebuah komunitas
Era social media yang tengah populer di ranah internet, merupakan refleksi langsung dari peranan penting dari apa yang disebut komunitas di dunia nyata. Kumpulan orang per orang yang memiliki minat dan tujuan yang sama.
Tampilan Muka Situs Kartunet.com
Demikian juga dengan kehadiran kartunet, baik dengan semangatnya sebagai komunitas maupun sebagai lembaga resmi yang mewadahi kebutuhan bersama menyangkut hajat hidup mereka penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang masih saja negatif terhadap mereka.

Layaknya, komunitas blogger yang mampu memberikan edukasi dan tempat berkonsultasi bagi para blogger, begitu juga hendaknya dengan kartunet ini. Sebagai sebuah komunitas berbentuk lembaga nirlaba, kartunet mempunyai kesempatan untuk memainkan peranan strategis.

Salah satunya adalah memberikan wadah persatuan bagi para tunanetra khususnya, maupun penyandang disabilitas lain pada umumnya. Bagaimanapun, kemandirian para penyandang disabilitas harus disambut hangat. Bukan mentang-mentang mereka sudah berkeinginan mandiri, lantas sesudah itu dilepas begitu saja.

Kartunet bisa menjadi jembatan untuk memenuhi kebutuhan akan hal itu. Antara para penyandang disabilitas dengan calon donatur. Antara kebutuhan kaum disabilitas dengan pihak pemerintah maupun dengan pihak-pihak yang bisa diajak bekerjasama untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas para penyandang disabilitas dengan keistimewaan skill masing-masing. Dari kedua faktor inilah, seperti yang disinggung oleh Eri Sudewo dalam bukunya Character Building, akan melahirkan kompetensi.
Contoh road sign khusus penyandang disabilitas
(Sumber : crestock.com)
Termasuk di dalamnya, mendorong pengambil kebijakan (pihak eksekutif dan legislatif) untuk mulai memperbesar persentase pemenuhan fasilitas pendukung bagi para penyandang disabilitas di area publik.

Ke arah yang lain, kartunet juga bisa memberikan edukasi secara kontinyu kepada masyarakat luas tentang keberadaan para penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat yang perlu terus mendapatkan informasi yang benar tentang disabilitas di tanah air. Saya termasuk yang sangat menyetujui dan merasakan manfaatnya saat Ramaditya melakoni roadshow-nya kemaren itu. Saya rasa, banyak yang mempunyai cara berpikir seperti saya, yang menganggap kehadiran mereka adalah beban, sebelum melihat secara dekat kehidupan mereka.

Karena pada dasarnya, segala sesuatu itu bersumber dari pengetahuan dan sikap untuk saling mengenali. Kembali ke istilah lama namun abadi : Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Tak cinta maka ta'aruf (dikenalkan). Selamat bekerja kepada pengelola kartunet. Serta bergembiralah kepada para penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat akan semakin positif terhadap eksistansi kalian.