2011-12-30

Resolusi Juara 2012 : Penghasilan $300 dari internet

Salah satu milestone yang ingin saya capai di tahun 2012 adalah mendapat penghasilan minimal $300 dari internet. Ya, itu resolusi yang  saya buat, dan insya allah akan saya wujudkan di tahun ini. Jangan tanya mendetail bagaimana caranya. Tapi  saya sudah bisa membayangkan pintu-pintu pendapatan yang memungkinkan perolehan tambahan tersebut.
MILESTONE Hidup saya hingga umur 45 tahun
Sekedar mengkilas balik, milestone atau cita-cita besar yang saya buat ada lima buah. Kelimanya mengambil pokok pijakan usia. Tahun 2012, usia saya 30 tahun. Saya berharap bisa mendapatkan penghasilan $300 dari aset di dunia internet. Tahun 2017, atau saat saya berusia 35 tahun, saya ingin mempunyai aset di dunia nyata. Ada tiga jenis bidang aset yang membayang di mata saya. Yakni : Usaha bedeng kontrakan/kost-kostan, Usaha peternakan kambing/sapi dan Usaha Warnet plus.

Di tahun 2022, usia saya insya allah  masuk 40 tahun. Harapannya, saat itu saya ingin sudah mampu menegakkan rumah sendiri. Cukup untuk dua orang anak dan mungkin juga sebagai tempat berteduh di hari tua. Maklum saat ini masih numpang di rumah orangtua. Nah, lima tahun kemudian yakni di tahun 2027, saya ingin menggenapkan rukun Islam dengan berangkat haji ke tanah suci, semoga Allah mewujudkannya. Amin!

Istilah milestone sendiri saya dapatkan dari seorang karyawan Telkom, saat mengisi salah satu kegiatan di kantor. Ya, kantor saya yang bergerak sebagai lembaga amil zakat memang bersinergi dengan pihak PT Telkom Regional Palembang. Ujarnya saat itu, kita harus mempunyai visi yang jelas dalam memandang hidup. dalam kesempatan tersebut ia perkenalkan istilah milestone, agar visi dan cita-cita hidup kita terasa nyata dan dekat sehingga terasa mudah diwujudkan.

Baiklah, mari kita bicarakan tentang resolusi saya sebelumnya yang bersifat short-term. 
Di penghujung tahun 2011, tepatnya semenjak bulan Oktober, saya diajak menjadi seorang co-translator bagi teman saya yang freelance di beberapa agensi penterjemah online. Dan alhamdulillah, saya bisa belajar kembali bahasa inggris secara intensif terutama untuk kepentingan penterjemahan. Dan yang lumayan lagi, walaupun sebatas membantu, saya kecipratan uang lelah. Rata-rata dalam satu bulan itu mendapat Rp 600.000.

Alasan kedua, juga berangkat di tahun 2011, saya juga mendapat kursus gratis mengenai internet marketing dari seorang teman yang punya penghasilan kurang lebih $5.000 per bulan (WOW!). Memang sih bidang yang ia garap multi platform. Mulai menjadi publisher adsense, reseller Amazon, jual beli website dan sebagainya. Tapi, karena ia adalah sahabat karib SMA saya dulu, maka saya merasa yakin kesuksesannya akan dapat tiru. Minimal polanya dapat saya tiru dengan menggunakan prinsip ATM (Amati, Tiru, Modifikasi).

Nah, dari kedua rekan saya tadi saya belajar. Bahwa peluang untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari internet terbuka sedemikian lebar. Banyak sekali pintu-pintu rizki yang menganga dan dapat segera dioptimalkan. Tahun 2011 menjadi ajang saya mengasah ilmu. Baik memperdalam kembali ilmu bahasa inggris saya, maupun ilmu-ilmu penunjang dari teman satunya. Yakni ilmu SEO.

Maka tahun 2012, adalah tahun pembuktian kerja keras. Pembuktian kesungguhan. Pembuktian bahwa saya bisa meniru pola kesuksesan mereka. Ya, pola kesuksesan, bukan sekedar berharap sukses semata. Melainkan mendapatkan polanya sehingga dapat dengan segera saya tularkan juga kepada orang lain.

Terbetik di sudut hati saya, seandainya setiap orang mempunyai akses yang sama ke teknologi internet ini dan pengetahuan di dalamnya. Saya yakin, anak-anak muda tak perlu lagi menggelembungkan cita-cita untuk menjadi PNS. Tak perlu lagi luntang-lantung tidak karuan, menganggur seusai tamat sekolah.

Dan ilmu-limu inilah yang ingin saya tularkan kepada mereka nantinya. Harapannya setelah berhasil, saya bisa berbagi dengan mereka. Karena kenyataanya manusia membutuhkan contoh terlebih dahulu untuk menarik mereka belajar. Agar mereka tertarik. Doakan saja, semoga saya bisa mewujudkan resolusi saya dan juga mewujudkan berbagi pengetahuan kepada mereka yang berusia produktif tersebut. (*)
 

2011-12-08

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat - Sebuah Renungan

Seperti pada tulisan saya sebelumnya, mengenai Disabilitas dan Pandangan Masyarakat, ada satu hal yang mengerucut dalam pikiran saya. Apakah kita bisa mewujudkan peranan yang memadai bagi para penyandang disabilitas tanpa bantuan negara? Karena terus terang, kepercayaan saya terhadap pemerintah, dalam hal ini dengan perangkat birokrasinya berada dalam titik nadir. Mendekati minus.

Tak hanya menyangkut masalah bagi para penyandang disabilitas dan bagaimana pandangan masyarakat saja, melainkan seberapa besar komitmen dan konsisten pemerintah dalam memperhatikan aspek-aspek kehidupan para penyandang disabilitas ini.

Jangankan untuk mereka para penyandang disabilitas, pemenuhan kebutuhan bagi kaum berpenglihatan normal saja (aparat birokrasi) pemerintah masih acakadut. Sarat kolusi dan korupsi. Sudahlah anggap saja negara ini memang sudah salah urus sejak zaman penjajahan. Jangan berharap muluk-muluk. Negara ini hanyalah ajang perebutan kekuasaan semata. Ideologi hanya uang dan jabatan.

Mari kita berpikir dengan logika otak sederhana saja sembari merenung. Anggap saja kita saat ini tengah kembali saat sekolah dulu. Bawalah pikiran kita, anda dan saya ke sekat ruangan kelas 1 SD. Di mana saat pikiran kita telah sampai di ruangan kelas, suasananya saat itu tengah pembagian rapor kelas. Riuh-rendah, diselingi pekik dan obrolan para siswa yang sudah tak sabar lagi menerima deret nilai dan tentu saja ranking yang ada di dalam rapor tersebut.

Saat-saat seperti ini, adalah saat yang merindukan bagi kita semua. Entah kita mendapat ranking atau tidak. Entah nilainya bagus semua, atau merah terbakar. Atau biasa-biasa saja. Yang pasti semua akan menerima rapor dan besoknya akan dimulai libur panjang. Tidak ada yang memikirkan mengapa bisa demikian?

Mungkin saat itu kita tidak sempat berpikir tentang perbedaan kecerdasan. Tentang perbedaan IQ, EQ, ESQ atau perbedaaan gizi yang diasup sehingga bisa pintar atau  apalah. Tapi yang pasti, saat ini, saat kita tengah membaca tulisan ini dan membayangkan kita terlempar kembali ke masa lalu, sekarang kita baru mengerti. Mengapa ada yang bisa rangking satu. Mengapa ada yang biasa-biasa saja. Mengapa mereka yang berasal dari ekonomi kaya cenderung selamat dari kobaran nilai rapor merah. Dan mengapa anak-anak dari kalangan tak mampu, cenderung apa adanya. Asal sekedar sekolah atau masih untung bisa sekolah di tengah himpitan ekonomi yang seret. Apalagi misalnya dengan kondisi tubuh tak lengkap menyandang disabilitas.

Mungkin sudah menjadi hukum alam, anak-anak pintar itu sedikit. Yang bodoh pun sedikit. Justru yang paling banyak adalah anak-anak yang berkecerdasan rata-rata. Dari empat puluh siswa yang menghuni satu kelas. dengan sangat mudah akan diperingkat sebagai anak berotak cerdas sebanyak 5 orang. Yang mungkin memelihara angka merah di rapornya ada tiga orang. Sisanya, sebanyak 32 orang nilainya rata-rata dan menyebar. Idealnya, seorang wali kelas seharusnya bisa mengkondisikan para siswanya untuk memiliki kesetiakawanan dengan teman-temannya. Yang pintar membantu yang berotak rata-rata. Yang cerdasnya rata-rata air, bisa membantu menyederhanakan penjelasan dari teman mereka yang sangat cerdas kepada teman-teman yang kebakaran rapor.

Ya, mungkin ketiga anak dengan rapor terbakar, malu untuk bertanya dengan yang pintar. Minder, takut nanti dijelaskan pun tetap tidak mengerti. Tapi paling tidak mereka bertiga ini punya salah seorang teman dari kalangan siswa berkecerdasan rata-rata. Sehingga, pendistribusian pengetahuan sebagai bentuk kepeduliaan bisa mengalir lancar tanpa hambatan berarti.

Semoga logikanya nyambung ya. Jadi, miniatur kelas tadi bisa kita analogikan ke kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia Raya yang tercinta ini. Dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, yang menjadi penyandang disabilitas dan keterbatasan lainnya, menurut catatan Kementrian Sosial ada 3,11%, sedangkan menurut Departemen Kesehatan terdapat 6% sementara WHO menyampaikan jumlah penyandang disabilitas dari negara - negara berkembang yaitu sebesar 10%. Itulah salah satu bentuk kekecewaan saya terhadap negara yang salah urus ini, tak ada data statistik yang akurat. Ah sudahlah, anggap saja hasil sensus WHO-lah yang layak kita pakai.

Berarti ada 24 juta jiwa penyandang disabilitas. Maka ada 216 juta jiwa yang beranatomi lengkap. Anggap saja -- masih mengikuti analogi dari siswa SD tadi, 12,5% nya yang tidak cukup waktu untuk peduli dengan urusan penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat terhadap mereka, maka masih ada 189 juta jiwa lagi yang bisa didekati untuk peduli kepada para penyandang disabilitas dan menepis pandangan masyarakat yang cenderung negatif.

Kartunet sebagai miniatur departemen Sosial yang kredibel dan profesional

2011-12-05

Seandainya Saya Anggota DPD RI

Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI --- 
Website DPD
With Love,
Dear, para wakil Saya Anggota DPD-RI,
Apa kabar? Semoga selalu sehat dan dikaruniai kesehatan dari Allah swt.

Duhai wakil saya, izinkan saya menyampaikan harapan, angan-angan atau apalah namanya kepada anda semua. Mungkin saat ini Anda sedang sibuk dengan tugas-tugas yang maha berat. Tapi saya percaya, anda masih sempat membaca surat cinta saya ini. Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI, saya akan sering-sering turun ke daerah asal, mendatangi para sesepuh masyarakat, bukan untuk meminta restu, tapi untuk mengetahui perkembangan dan aspirasi yang ada di masyarakat, menandai perkembangan potensi yang ada, mengabaikan perbedaan yang muncul serta membesarkan semangat entrepreneur si kalangan anak muda. Setelah itu saya akan mengusahakan semua yang saya dapat tadi, untuk menjadi bagian dari sidang-sidang yang ada di dalam agenda rapat para Anggota DPD RI.

Saya yakin, Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI apa yang saya temukan di daerah asal saya, juga ditemui di daerah lain. Hanya pembedanya mungkin kekhasan dan tingkat emergensitasnya saja. Toh, sama-sama berasal dari Indonesia juga kan?

Saya coba untuk meyakinkan semua yang Menjadi Anggota DPD RI tentang usulan tersebut. Jikapun tidak atau belum berhasil, karena ini sedang membayangkan Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI, maka saya akan coba dengan pintu lain. Saya akan salurkan ide-ide saya kepada staf ahli saya,  dan dimatangkan dalam bentuk publikasi di media sosial. Tapi tidak di surat kabar apalagi di televisi.

Sayang rasanya bila harus menyewa space dengan harga begitu mahal. Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI, saya pikir akan lebih baik menyewa tenaga-tenaga muda yang expert di bidang media sosial untuk menyuarakan temuan saya tadi. Lewat blog, twitter, blog bersama, e-buletin. Sehingga, banyak pihak mengetahui kebutuhan seperti apa yang diinginkan oleh masyarakat di daerah asalnya. Termasuk bagi mereka para perantauan. Karena, saya paham kapasitas dan daya jangkau tangan saya yang tidak akan mampu menyelesaikan semuanya, maka sinergitas dengan banyak pihak menjadi keniscayaan.

Seandainya setiap anggota DPD RI bersedia menerima sikap ini, Saya yakin bila tujuan ini tulus dan ikhlas - bahkan bila perlu anonim atau menggunakan nama alias saja, perjuangan saya akan mendapatkan bantuan dari kanan-kiri. Terutama dari para anak muda di negeri ini, mereka hanya butuh keteladanan. Selebihnya, bila mereka telah menemukan sosok teladan, dibayar separoh pun mereka tak akan menolak.

Akan saya pegang erat-erat keyakinan bahwa 'alibi demi kepentingan rakyat, tapi berbiaya mahal, seharusnya tidak dilakukan di tengah kehidupan mereka yang melarat'.
Boleh kan berandai-andai.. :)
Nah para wakil Saya Anggota DPD RI tercinta, itu saja harapan saya. Ya, saya hanya bisa berandai. Karena sejatinya bola perubahan daerah ada di tangan Anda. Jangan merasa sendirian, kami warga Indonesia dan juga para pewarta warga, ada di belakang dan mendukung sepenuhnya. Demikian harapan kami yang tertuang dari angan-angan kecil, Seandainya Saya Menjadi Anggota DPD RI.