2014-08-30

Kasus Florence Sihombing dan Kebijaksanaan Sosial Media Kita

Tags
Florence Sihombing resmi ditahan
Pihak Reskrimsus Polda DIY saat memberikan surat penahanan kepada pengacara Florence, Wibowo Malik, Sabtu (30/8/2014). (Foto : Kompas)
Florence Sihombing resmi ditahan -- Satu lagi, gelanggang dunia maya memakan korban. Aksi kebablasan yang menganggap sosial media tak lebih ruang ekspresi pribadi, harus berbuah tindakan hukum. Keleluasaan mengeluarkan pendapat tanpa ada sensor sedikitpun dari pemerintah, tak menjamin setiap pribadi mampu bijaksana dalam memanfaatkannya.

Florence Sihombing mendadak menjadi terkenal di seantero media sosial Path, Facebook, Twitter hingga forum terbesar di tanah air Kaskus. Aksi umpatannya yang menghina warga Jogja dengan kata-kata kasar dan merendahkan, telah membuatnya harus merasakan dinginnya lantai tahanan polisi.

Tepatnya Sabtu (30/8) pu8kul 14.00 WIB, Florence Sihombing akhirnya ditahan oleh pihak Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda DI Yogyakarta, atas aduan kelompok masyarakat Jogja yang tidak terima dihujat di media sosial miliknya.
Status Florence Sihombing
Semua bermula saat Florence yang mengaku sedang tidak enak badan, tiba-tiba menyerobot antrian kendaraan di salah satu SPBU di kota gudeg itu. Alih-alih mendapatkan keistimewaan untuk diisikan BBM duluan, Florence malah didatangi seorang anggota TNI yang juga tengah mengantri.

Adu argumen sempat terjadi, sampai Florence pun segera pergi dari lokasi kejadian dengan muka dilipat. Setelah insiden tersebut, Florence pun memuntahkan kekesalannya melalui media Path miliknya.

Di sinilah permasalahan dimulai. Kekesalannya - yang entah mengapa justru menjelek-jelekkan warga Jogja dengan makian yang teramat kasar, di-capture hingga tersebar kemana-mana. Bisa ditebak efek viralnya pun menyebabkan dirinya menjadi bulan-bulanan dari warga dunia maya yang merasa tersinggung dengan makiannya.

Demikianlah, selalu saja kisah-kisah seperti ini terus berulang dengan setingan narasi dan pelaku yang berbeda. Namun intinya tetap sama, gagap dalam memanfaatkan keberadaan sosial media. Cenderung tak mampu melihat pembatas, mana daerah yang masuk domain pribadi. Mana yang masuk dalam domain publik dan mana yang masuk domain privat.

Domain pribadi artinya hal-hal yang hanya diri sendiri serta orang terdekar-terpercaya saja yang tahu. Resikonya sangat besar jika tersebar keluar dinding rumah. Domain publik dipagari oleh norma-norma yang berlaku. Baik norma kesopanan maupun norma hukum.

Caci maki yang tak pantas, yang berasal dari kekesalan pribadi terhadap orang atau institusi adalah domain pribadi. Karena, seperti pada kasus Florence, caciannya tidak dapat diterima oleh pihak yang dicaci. Jika pihak yang dicaci tidak terima dan memutuskan membawa persoalan ke ranah hukum, maka sanksi hukum yang akan ia terima.
Sudah sepatutnya kita semakin dewasa memanfaatkan media sosial, sehingga kejadian seperti yang menimpa Florence ini tidak terulang kembali. Media sosial, seperti namanya adalah merupakan wadah yang tepat untuk bersosialisasi dan mencari teman.

Bukan menyalahgunakannya untuk mengumbar sumpah serapah dan cacian tanpa dasar. Kasus pengumbaran caci maki ini tentu saja adalah salah satu dari sekian banyak kasus yang diakibatkan dari penyalahgunaan media sosial. Self censored menjadi sangat penting untuk membentengi diri agar tidak menjadi korban di media sosial. Lebih lagi jika kita malah menjadi pelakunya.


Florence Sihombing resmi ditahan
Permintaan maaf Florence atas statusnya yang telah meghina warga Yogya
Dengan ditahannya Florence Sihombing dalam kasus ini, semoga menyadarkan kita pada pitutur bijak orangtua dahulu, Mulutmu Harimaumu! (*) 

2014-08-18

Garam dan Telaga

Tags
Kisah Hikmah Garam dan Telaga
Kisah Hikmah Garam dan Telaga --  Syahdan, diceritakan pada suatu masa, tinggallah seorang guru yang bijak di kaki bukit. Seorang diri ia coba menyepi dan menyatu dengan alam, meninggalkan kebisingan dunia dengan segala godaannya. Saat pagi mulai merekah dan suara burung terdengar mencicit merdu, tiba-tiba datanglah seorang anak muda menyambangi kediamannya.

Sang guru bijak memperhatikan tamunya itu. Setelah mengucapkan salam, sang tamu segera duduk di teras. Kelihatan sekali olehnya, bahwa anak muda itu tengah dirundung banyak masalah. Langkahnya lunglai tak bersemangat dan air mukanya kusut. Sang guru menarik kesimpulan, orang ini sedang tidak bahagia.

Setelah dizinkan bicara, anak muda itu segera menceritakan segala permasalahan yang dihadapinya. Mulai dari keluarga, karir hingga ingin rasanya mengakhiri hidup saja.

Sang guru mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah sang tamu tuntas mengungkapkan cerita, ia lalu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil segenggam garam. Olehnya, garam tersebut ia larutkan ke dalam air putih di dalam gelas, “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya,” ujar Sang guru.

“Uh pahit sekali”, jawab sang tamu kecut.

Sang guru tersenyum. Lantas ia memberi isyarat agar sang tamu mengikutinya. Merela kemudian berjalan ke luar rumah menuju tepian telaga di dekat hutan, tak jauh dari rumahnya. Setiba di saung pinggir telaga, sang guru lalu kembali menaburkan segenggam garam dalam jumlah yang sama seperti tadi ke dalam telaga.

Dengan bantuan ranting pohon, ia mengaduk air telaga tadi. “Sekarang, coba kau ambil air dari telaga ini, dan minumlah”. Sang pemuda pun turun meminumnya. Guru bijak itu berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.

“Segar, Guru”, tutur tamunya.

“Tidakkah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya guru itu lagi.

“Tidak”.

Sembari duduk di tepian telaga, guru itu kemudian menepuk pundak tamu itu dan berujar, “Anak muda, dengarlah. Pahitnya masalah yang kau hadapi dalam kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama.”

“Namun ketahuilah, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Jadi sesungguhnya, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu, TERIMA semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Guru iru kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Pundak pemuda tamunya itu, tampak turun. Seiring dengan perenungan yang terjadi pada bathinnya. Ia menganguk-anguk, tanda memahami apa yang dimaksudkan oleh sang guru. Betapa bijak perumpamaan yang diberikan. Ia pun menarik nafas dalam-dalam udara segar pagi itu. Dirasakannya tiap oksigen yang masuk memenuhi pari-parunya, dan ia hembuskan perlahan. Kini ia merasakan kelapangan yang nyata di dadanya.

Kini ia paham. Bahwa ia harus bisa melapangkan hati, untuk meredakan permasalahan yang tampak besar. Ia harus bisa berdamai dengan masalah yang dihadapinya sendiri.

Demikian kisah hikmah garam dan telaga, semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

2014-08-05

Ajaklah Ibumu Makan Malam

“Seorang ibu bisa mengurus sepuluh orang anak, tapi sepuluh orang anak belum tentu mampu mengurus seorang ibu”.

Membahagiakan Ibu
Suatu hari seorang wanita duduk santai bersama suaminya, dan bertanya, ”Tidakkah engkau ingin keluar makan malam bersama ibumu?”.

Suaminya kaget.

Wanita itu berkata pada suaminya, ”Selama kita bersama tak pernah engkau bersama ibumu walau sejenak saja, hubungilah dia. Ajak makan malam berdua. Luangkan waktumu untuknya”.

Suaminya terlihat bingung, seakan-akan ia lupa pada ibunya.

Maka hari itu juga ia menelpon ibunya, menanyakan kabar dan berkata “ Ibu, bagaimana kalau kita keluar makan malam. Saya akan menjemput ibu, bersiaplah”.

Ibunya heran, ” Anakku, apakah terjadi sesuatu padamu?”. Jawabnya,”Tidak ibu”.
Ibunya kembali bertanya, ”Saya keluar bersamamu anakku?”

Ibunya seorang janda, ayahnya telah lama wafat, dan anak lelakinya teringat padanya setalah 21 tahun pernikahannya. Hal yang sangat menggembirakannya.

Saat laki-laki itu menjemputnya, wanita tua itu sudah menantinya di depan pintu. Terlihat benar wajah bahagia dari sang ibu saat menaiki mobilnya. 

Ia berujar, “Anakku, aku telah memberi tahu keluarga dan tetangga di sekitar rumah ku kalau aku akan makan malam bersama anakku. Dan mereka menunggu ceritaku sepulang nanti”.

Setiba di restoran, mereka lalu memesan makan. Sang anak melihat, ibunya membaca daftar menu dan sesekali melirik kepada anaknya. Sang anak paham, ibunya sudah tua dan matanya tak awas lagi melihat menu-menu yang ada.
Membahagiakan Ibu
Ia tawarkan kepada sang ibu untuk membacakan menu yang ada. Ia segera mengiyakan dan berkata, “ Saya mengingat sewaktu kau masih kecil dulu, saya yang membacakan daftar menu untukmu, sekarang kau membayar utangmu anakku. Kau bacakanlah untukku”

Maka sang anak mulai membacakan untuknya, dan demi Allah semburat kebahagiaan membuncah mengguncang dadanya.

Tak lama kemudian, datanglah makanan pesanan mereka. Sang anak mulai memakannya. Tapi tidak dengan ibunya. Ia sama sekali tak menyentuh makanannya. Ia hanya duduk memandang anaknya dengan tatapan bahagia. Karena rasa gembira ia merasa tak selera untuk makan.
Membahagiakan Ibu
Dan ketika selesai makan, mereka pun pulang, dan sungguh. Dalam hati sang anak menggumam, “Sungguh, tak pernah kurasakan kebahagian seperti ini setelah bertahun-tahun. Saya telah melalaikan ibuku 21 tahun lamanya”.

Setiba di rumah, sang anak bertanya lagi kepadanya : “ Ibu, bagaimana jika waktu lain kita makan keluar lagi?”

Beliau menjawab,” Saya siap kapan saja kau memintaku!”

Maka haripun berlalu, sang anak sibuk dengan pekerjaannya lupa dengan janjinya sampai terdengar kabar bahwa Ibunya jatuh sakit. Dan beliau selalu menanti malam yang telah dijanjikan.

Hari terus berlalu dan sakitnya kian parah. Dan sang Ibu akhirnya meninggal tanpa malam kedua yang dijanjikan padanya.

Setelah beberapa hari, seseorang menelpon sang anak. Ternyata dari restoran yang dulu didatanginya bersama sang ibu. Dia berkata,” Anda dan istri Anda memiliki pesanan kursi dan hidangan makan malam yang telah dibayar”.

Maka mereka pun pergi ke restoran itu. Pelayan di sana mengatakan bahwa seluruh pesanan makanan di meja sudah dilunasi dan menyampaikan sepucuk surat yang ternyata dari ibunya,

“Anakku, sungguh saya tahu bahwa tak akan hadir bersamamu untuk kedua kalinya. Namun, saya telah berjanji padamu, maka makan malamlah dengan uangku, saya berharap istrimu telah menggantikanku untuk makan malam bersamamu”

Pria itu menangis membaca surat dari ibunya. “Dimana saya selama ini? Di mana cintaku untuk Ibu? Selama 21 tahun….”. (*)