2014-09-22

Arloji yang Hilang


Arloji
Arloji yang Hilang -- Alkisah di dalam hutan, ada sekelompok tukang kayu yang sedang bekerja. Mulai dari menebang kayu, memotong dahan, menggergaji gelondongan batangnya dan membentuk profil. Ada salah seorang dari mereka bernama Pak Amat, yang sedang giat membelah gelondongan kayu. Keringatnya mengalir tanda ia tengah bekerja keras di perusahaan kayu ternama itu.

Saat sedang membungkuk, tiba-tiba arlojinya meloncat keluar dari kantung bajunya. Membentur sebentar di selasar kayu lalu jatuh terbenam di antara tingginya tumpukan serbuk kayu.

Ia segera mematikan peralatan dan beranjak ke arah timbunan serbuk penggergajian kayu tadi. Ia merunduk dan mulai mengaduk-aduk. Keningnya yang telah basah oleh keringat, berkernyit ia tidak berhasil menemukan arlojinya.

Arloji itu sangat berharga dan bersejarah. Arloji itu pemberian dari seorang sahabatnya yang sekarang tinggal di Amsterdam, Belanda. Ia teramat sangat mencintai arloji tersebut. Karenanya, ia berusaha sedapat mungkin untuk menemukan kembali arlojinya. Kembali ia  membolak-balik timbunan sisa-sisa kayu. 
Arloji
Pencariannya pun meluas, hingga radius lima meter dari tempatnya bekerja semula. Sambil mencari tak hentinya bibirnya mengeluh, mengapa ia ceroboh sekali sampai harus menghilangkan arloji itu.

Teman-teman Pak Amat yang melihatnya kebingungan, ikut membantu mencari. Tapi anehnya, mereka tidak menemukan arloji itu! Setelah cukup lama mencari. Pak Amat putus asa. 

Saat makan siang, mereka para pekerja berpencar mencari makan dan meninggalkan sementara bengkel kayu tersebut. Pak Amat berjalan gontai. Ia sama sekali tidak semangat untuk makan di siang itu. Pikirannya masih berkecamuk memikirkan arlojinya yang hilang itu.

Tak lama setelah Pak Amat dan para pekerja meninggalkan tumpukan sisa penggergajian tadi, datang seorang anak kecil. Rupanya, anak kecil ini lama memperhatikan Pak Amat dan teman-temannya mencari arloji. Ia diam sejenak lalu menjongkok dan mencari dalam tumpukan serbuk yang sama. Tak berapa lama berselang ia telah menemukan kembali arloji kesayangan si tukang kayu tersebut.
Arloji
Segera ia hampiri Pak Amat yang lagi lesu sendirian dan menyerahkan arloji kesayangannya itu. Pak Amat terlonjak kegirangan dan amat gembiranya. Saking gembiranya, ia menawarkan separuh makan siangnya untuk dinikmati bersama anak itu.

Seusai makan, Pak Amat yang masih sumringah karena arlojinya berhasil ditemukan, bertanya penuh heran kepada sang anak. “Bagaimana bisa kau menemukan arloji itu? Sedangkan kau lihat, aku dan teman-temankku tadi sudah memeriksa dan membolak-balik segala sampah yang ada di sana..”, tanya Pak Amat.

Sang anak sambil menyeka bekas minum di bibirnya lantas bercerita. “Entahlah. Aku lihat kalian mencari sesuatu. Dan salah seorang dari kalian berkata arloji. Aku tertarik ingin membantu. Tapi aku menunggu kalian pergi dulu. Saat sepi, aku bisa mendengar suara arloji itu berdetik. Tik-tak, tik-tak. Dengan itu saya tahu di mana arloji itu berada", jawab anak itu polos.

Teman, apa yang disampaikan sang anak adalah tentang keheningan. Dan tahukah kita bahwa keheningan adalah pekerjaan rumah yang paling sulit diselesaikan selama hidup. Kita lebih sering terjerumus dalam seribu satu macam 'kesibukan dan kegaduhan', sadar ataupun tidak.

Hikmah yang ingin disampaikan dalam cerita di atas adalah, saat menghadapi persoalan. Ada baiknya kita coba menjaga jarak terhadap persoalan untuk menenangkan diri kita terlebih dahulu. Sebelum kemudian mulai melangkah menghadapi setiap permasalahan. Mendengarkan detik arloji yang hilang sebelum menemukannya kembali. 

2014-09-17

Ya Cuma Sandal Jepit..

Sandal Jepit Sehun boyband EXO
Screenshoot vivanews
Tidak salah, judul di atas memang Ya Cuma sandal jepit. Tidak istimewa, di mana-mana mudah mendapatkan sandal jepit ini, mulai dari toko manisan dekat rumah hingga ke mal-mal dan pertokoan daerah wisata terutama pinggir pantai. Harganya pun sangat bersahabat, anda mulai bisa mendapatkannya mulai dari harga Rp5.000 saja. Hingga yang mahal keluaran merek global dengan tambahan aneka tokoh kartun.

Trus, apa istimewanya sandal jepit khas Indonesia ini sehingga harus menjadi headline berita? Apakah ada fitur tambahan yang disematkan di alasnya? Anti maling, misalnya. Ternyata tidak dan memang bukan itu.

Sandal jepit khas Indonesia itu menjadi terkenal setelah seorang boyband Korea memakainya. Selebritis pesolek yang punya fans kinyis-kinyis. Siapa lagi kalau bukan Sehun, personel boyband EXO.

Memang, saat berkesempatan datang ke Indonesia beberapa waktu yang lalu, Sehun sempat membeli sepasang sandal jepit. Dan terlihat memakainya saat berada di Bandara Soekarno-Hatta. Entah karena suka atau memang nyaman menggunakan sandal bermerek swallow tersebut, dunia maya kembali dihebohkan dengan tertangkap kameranya Sehun saat menggunakan sandal yang sama dan tengah berada di China.
Sandal Jepit Sehun boyband EXO
Iklan Sandal Swallow yang dibanderol $20
Sontak saja, kejadian ‘remeh’ ini menjadi berita. Apalagi bagi penggemar boyband macam K-Lovers. Dan yang lebih gila lagi, saat ini di dunia maya dan broadcast muncul iklan yang menjual sandal jepit dengan bentuk dan merek yang sama. Namun harganya gila-gilaan, sepasang $20 atau kalau dirupiahkan setara dengan Rp.239 ribu!

Ya Cuma sandal jepit. Barang remeh, namun menjadi berita. Ini menjadi fenomena sosial yang menjelaskan tergantung siapa berita biasa itu disematkan. Cuma sandal jepit memang, namun sangat tergantung dengan siapa yang memakainya. Bukankah ini agak aneh bagi orang Indonesia?

Baru menghargai mahal setelah orang lain memakai dan tahu cara menghargainya? Bukankah kita di sini malah tergila-gila dengan sandal merek global, sandal gunung bermerek, atau sandal buaya yang harga orisinilnya bisa menyentuh angka Rp600 ribuan?

Tidak sebetulnya pula sebagai keanehan. Toh, latalitas (<~ ada ya istilah ini... :p) orang Indonesia memang seperti itu. Baru ribut saat, barangnya diakui oleh orang lain. Baru melonjak rasa nasionalisme saat aneka produk kebudayaan dibajak negara tetangga. Atau  baru merasa bangga sebagai orang Indonesia saat ada putera bangsa yang berkiprah di luar negeri.

Di luar itu semua, ini menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Sesungguhnya produk dalam negeri kita bisa bersaing dari segi harga dan kualitas. Namun kekurang-pedean telah lebih dulu membekap nalar dan optimisme kita. Bahwa barang buatan dalam negeri itu jelek, murahan dan tidak keren.

Sampai kapan kebiasaan buruk ini akan berulang? Apakah memang kita harus menunggu orang lain menghargai produk kita, baru kita tersadar untuk menghargainya, walaupun setelah itu harga menjadi tidak normal lagi? 

Nggak tahu ah, sekarang saya mau cari sandal Swallow dulu ah.. Sebelum harganya benar-benar naik. Eh, ada yang punya ukuran 10 ½ nggak?

2014-09-15

Belajar dari Norman Kamaru (2)

Norman Kamaru jadi Tukang Bubur
Norman Kamaru di warungnya
Sangat menarik melihat apa yang saat ini terjadi pada seorang Norman Kamaru. Jika sebelumnya ‘moncong’ pemberitaan lebih mengarah pada kisah hidupnya yang sepertinya menurun, dari polisi lalu menjadi artis kemudian menjadi tukang bubur. (Baca di Sini)

Namun di jagad social media, ia justru mendapatkan simpatik. Rumusnya bukan menurun, Polisi > Artis > Tukang Bubur. Namun justru rumusnya meningkat Polisi > Artis > Pengusaha.
Cashflow quadrant
Dalam kacamata cashflow quadrant, rumus tersebut dibaca menjadi employee > self employee > Business Owner. Jika kemudian ia mampu membuka cabang dan mempekerjakan banyak orang, maka sebentar lagi ia akan melompat menjadi seorang Investor.

Itulah pandangan positif yang seharusnya kita pakai untuk MELIHAT orang lain BUKAN untuk MENILAI.
Boleh jadi, penghasilannya sekarang tidaklah sebesar saat masih laris diundang menghibur di dunia entertainment. Namun, menurutnya penghasilannya saat ini cukup besar dibanding saat masih di kesatuan. Ia menyebut angka Rp3-4 juta saat ramai, dan omset kotor Rp1-2 juta saat warung buburnya sepi. Walau demikian, semuanya bukan urusan angka semata.

Sekali lagi, banyak hal yang dapat kita pelajari dari kehidupan Norman. Benar bahwa ada ‘kesalahan’ yang dibuat olehnya saat memutuskan untuk keluar dari kepolisian akibat mengejar popularitas di dunia hiburan. Namun, kesalahan itu ia tanggung dengan ksatria dan tetap memelihara kejernihan hati. Tidak menyalahkan pihak manapun. Bahkan bersama dengan istrinya, ia bangkit dan memasuki bidang baru. Walaupun kecil, itu adalah lompatan.
Belajar dari Norman Kamaru
Norman Kamaru bersama istrinya Daisy Paindong
Menyesal belakangan adalah manusiawi. Ada sesal atas kesalahan. Namun menyesal berkepanjangan hanya akan membuat setan masuk untuk menggoda dengan perangkap putus asa lalu bunuh diri. Ini tipikal syaithoni.

Semoga kita bisa menghikmati peristiwa tersebut. Minimal ini menjadi pelajaran berharga untuk tidak buru-buru menghujat atas kejadian yang terjadi atau menimpa seseorang. Belajarlah untuk menahan diri sambil melihat situasi dan bersimpati dari sisi positif.

Pemberitaan negatif yang seakan-akan menunjukkan keterpurukan seorang Norman, bisa jadi benar begitu adanya. Namun, tetap harus ada semangat positif yang dapat kita serap darinya.

Jangan sampai kita masuk dalam golongan kaum haters. Yang hanya bisa menyalahkan tanpa solusi, karena memang semangatnya dari awal adalah benci! Semoga kita bisa belajar dari seorang Norman Kamaru ini.  (*)

2014-09-14

Kita dan Sosial Media

Kita dan Sosial Media

Sebelumnya ada Wimar Witoelar. Kemudian lama berselang ada Florence. Dan yang terakhir akun anonim @kemalsept yang membuat ulah di social media. Jika Wimar sebatas dilaporkan saja karena ulah gambar postingan Gallery of Rogue (Kebangkitan para Bajingan) yang menghina beberapa tokoh parpol, ulama dan ormas - tanpa ditahan.

Lain halnya Florence - mahasiswi S2 UGM yang menghina warga Yogyakarta - sempat ditahan sebentar untuk kemudian bebas atas jaminan dari pihak UGM dan ‘pengampunan’ Sultan HBX. Maka @kemalsept belum tersentuh, karena akunnya telah dihapus serta tidak ada jejak sama sekali yang tertinggal yang menjurus pada identitas aslinya di dunia nyata.

Akun ini menghina kota Bandung dan pribadi Ridwan Kamil selaku walikotanya
Tim Advokasi Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Prabowo-Hatta melaporkan Wimar Witoelar ke Badan Pengawas Pemilu (20/6) atas dugaan kampanye busuk.
Tapi benang merahnya adalah penggunaan sosial media yang tidak bijaksana. Nyinyir menyindir tapi ketahuan pandir. Melepaskan amarah tanpa titik koma, tanpa mempertimbangkan perasaan. Hanya mengedepankan kesumat nafsu. Seolah jika yang dihina membalas dan sakit hati maka terlampiaskan syahwat ocehan tak berotaknya.

Maka tak heran jika kemudian seorang netizen, menuliskan status di timeline Facebook. “Apakah perlu kita membuat pelajaran khusus Sosial Media?”.
Kita dan Sosial Media
Cuplian twit akun @kemalsept yang menghina.
Tentu saja ini pertanyaan retorika. Namun menggelitik untuk kita tanggapi bersama secara terbuka.

Saat sosial media mulai mewabah melalui pintu blog dan friendster, kita - khususnya masyarakat Indonesia - belum siap untuk menerimanya dengan pikiran terbuka dan menghargai perbedaan pendapat. Kita tergagap dengan kebebasan tingkat individu yang sudah menjorok ke dalam ruang paling pribadi ini.
Kita dan Sosial Media
Kemarahan mudah sekali dilontarkan hanya berbekal tombol ‘send’.
Padahal dalam prinsip komunikasi, prinsip keterhubungan antara penyampai informasi dengan penerima informasi - apapun media komunikasi yang digunakan, adalah masalah cara. Baik cara penyampaian, konten penyampaian dan persepsi penerima.

Niat baik dan konten penyampaian yang baik, mustahil akan menimbulkan persepsi buruk bagi penerimanya. Namun, jika sudah ada niat tidak baik, ditambah memang konten penyampaiannya sudah mengandung sumpah serapah, maka sudah pasti penerima informasi akan marah dan berang.
Mungkin saja, kita memang perlu diberi kursus mengenai etika bersosial media. Agar jangan sampai kejadian-kejadian buruk ini terus berulang. Kebebasan individu dibatasi oleh kewajiban sosial. Kebebasan mengeluarkan pendapat di tingkat personal dibatasi kewajiban untuk menjaga ketenangan bersama.

Hingga saat ini, sepertinya hanya produsen saja yang mampu memanfaatkan sosial media dengan baik untuk mempromosikan produknya. Selebihnya, masih banyak aksi bullying, caci-maki, sumpah serapah, aksi selfie, status galau, kosakata alay dan sebagainya yang muncul dari tataran akun individu. Yang baik mungkin ada, tapi segelintir.

Ustadz dan para ulama serta budayawan ‘putih’ juga memanfaatkan keampuhan sosial media untuk menyampaikan pesan dan nasihat mereka. Walaupun, tak hanya follower yang setia menerima nasihat. Aksi-aksi rendahan sebagaimana disebutkan di atas, tetap saja menerpa mereka para ulama.

Jika demikian, perlulah memang setiap pengguna sosial media untuk ditatar mengenai etika. Tentu hal ini jauh lebih baik daripada main blokir. Bukan begitu? (*)

2014-09-11

Belajar dari Norman Kamaru

Sumber Foto : Nyatnyut.com
Beberapa hari terakhir, situs berita online banyak memberitakan mengenai kehidupan sosok Norman Kamaru. Mantan anggota Brimob Gorontalo tersebut, diketahui saat ini tengah membuka warung bubur kecil-kecilan di daerah Tower Damar, Apartemen Kalibata City bersama sang istri.

Judul berita pun menggugah simpati atau malah menggiring cibiran, “Norman "Caiya-caiya" Kamaru Jualan Bubur demi Menyambung Hidup”. Hidup bergelimang harta dan polularitas, ternyata hanya dirasakannya sesaat saja.

Tepat saat ia memutuskan untuk keluar dari kesatuannya, di saat itupula, titik balik hidupnya. Ia diberhentikan secara tidak hormat oleh pimpinannya dan impiannya untuk meraup rezeki dari ketenarannya menjadi artis Youtube pun meredup.
Norman Kamaru
Komentar sinis dari netizen
Tak ada lagi panggilan untuk manggung.

Netizen yang membaca berita tersebut tak urung berkomentar. Ada yang sinis, karena menganggap Norman terlalu silau dengan popularitas hingga meninggalkan profesinya sebagai anggota Brimob. Ada yang menyebut terlalu cinta dunia. Hingga ada pula yang ‘membela’, bahwa apa yang dilakukannya masih lebih baik daripada mereka yang bertahan dalam sistem namun terpuruk.

Komentar positif terhadap perjuangan lagi dari Nol untuk Norman Kamaru.
Ada juga yang malah berkomentar lucu, bahwa tidak mengapa Norman menjadi tukang bubur. Siapa tahu doa nanti akan diajak jadi pemeran Tukang Bubur Naik Haji, yang bintang utamanya (Mat Solar sebagai tukang bubur) sudah lama tidak kelihatan batang hidungnya :).

Kini penampilan Norman Kamaru tidak lagi gagah setelah tak mengenakan seragam brimob. Terakhir yang terlihat di televisi saat ditemui di warung buburnya, Norman hanya mengenakan kaos oblong kusam, dengan telinga kiri ditindik dan ukiran tato tampak menyembul dari balik lengan kaosnya.

Tak ada lagi kebanggaan. Hanya tersisa semangat untuk bertahan hidup di kota Jakarta.

Sebagai muslim yang baik, kita harus bisa mengambil hikmah dari kasus yang menimpa Norman Kamaru. Kita sebut saja sebagai kasus. Karena pada kenyataannya, apa yang terjadi padanya adalah sebuah pelajaran yang sangat berharga. Baik kepada institusi kepolisian, Norman Kamaru sendiri dan juga kepada masyarakat luas.

Ketenaran memang menyilaukan. Saking menyilaukan, tak mampu melihat lagi kiri kanan. Otak sehat dan nurani pun ikut buta. Beberapa contoh mereka yang terkenal karena Youtube, bersinar bak rising star. Sebutlah Sinta Jojo, Justin Bieber, Udin Sedunia dan sebagainya. Termasuk Norman Kamaru.

Namun, sayang beberapa di antaranya kemudian lalu jatuh cepat sebagai falling star. Tak terdengar lagi kabar beritanya.

Semoga kita bisa belajar dari Norman Kamaru ini, untuk tidak cepat merasa beruntung dengan popularitas instan yang diperoleh melalui media sosial ataupun media massa. Allah mboten sare. Ia akan melihat apa yang kita perjuangkan dengan sungguh-sungguh dan serius. Bukan bersantai, bermodal ketenaran sesaat.

Wallahualam.