2015-04-28

Penghitungan Zakat Untuk Penghasilan Tidak Tetap


Zakat profesi menyasar para muzakki yang telah memiliki penghasilan di atas nishab. Biasanya haul (waktu) untuk membayar zakat adalah saat mereka menerima gaji. Dan biasanya pula mereka akan menerima penghasilan dengan jumlah yang sama setiap bulannya.

Lalu, bagaimana dengan mereka yang berprofesi tertentu, yang penghasilannya tidaklah tetap setiap bulannya? Seperti tenaga paruh waktu (freelance), konsultan yang penghasilannya tergantung dengan jumlah klien yang ditangani setiap bulannya? Atau profesi ‘serabutan’ yang mengerjakan banyak pekerjaan, namun penghasilan tidak diterima dalam waktu yang bersamaan?

Berikut penjelasannya :

Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari penghasilan profesi (berupa gaji, upah atau honor) jika sudah mencapai nilai tertentu (nishab). Profesi yang dimaksud mencakup profesi pegawai negeri sipil (PNS) atau swasta, dan lain-lain.

Harta yang kita peroleh dari apa-apa yang kita usahakan apabila telah mencapai nisab atau haul maka hal itu wajib dizakati, termasuk gaji. Perintah zakat atas profesi/ gaji adalah perintah adanya keumuman lafaz Surat Al Baqarah ayat 267 :  "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik".

Ulama menjelaskan zakat wajib dipungut dari gaji ada dua pendapat ulama dalam hal ini.
Pertama; zakat profesi/gaji dianalogikakan dengan zakat pertanian, dikeluarkan zakatnya saat menuai panen/mendapatkan hasil/gaji/upah sebulan sekali, dengan syarat cukup nishab (520 kg beras), jika harga beras yang biasa dikonsumsi Rp 8.000 maka nishabnya 520 x Rp8.000 = Rp 4.160.000.

Dengan demikian, jika penghasilan yang diperoleh, dalam jangka waktu 1 bulan itu dikumpulkan, dan totalnya telah melewati batas nishab di atas, maka penghasilannya wajib dizakati sebesar 2.5 % atau minimal Rp104.000.

Kita ambil contoh, seorang freelance yang bulan ini total penghasilannya bulan ini adalah Rp4,5 juta maka zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5% x Rp 4,5 juta sebesar Rp 112.500.

Jika bulan selanjutnya, ternyata penghasilannya tidak lebih dari Rp4,16 juta, maka ia tidak terkena kewajiban zakat. Namun sangat dianjurkan untuk bersedekah, tanpa batasan minimum jumlah uang yang akan dikeluarkan.
Karena, bersedekah itu besar fadilahnya. "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu". (QS Asy-Syams: 9)

Lebih jelasnya dibawah ini ada contoh lain dari perhitungan zakat gaji dan profesi yang tidak tetap dikeluarkan tiap bulan tergantung pendapatan gaji perbulan:

Yongki, seorang fotografer freelance. Setiap bulannya, jika ramai ia mampu membukukan penghasilan bersih hingga Rp5 juta perbulan. Maka, ia sudah terkena zakat. Ia wajib membayar zakat sebesar Rp2.5% x Rp5 juta atau sebesar Rp 125.000,-

Lalu, di bulan Ramadhan, order foto pernikahan hanya ada satu. Ia pun beralih berdagang buah kurma dan aneka pernak-pernik Ramadhan. Di akhir bulan berjalan, hasil dari jualan itu ditambah satu kali order foto pernikahan, ia membukukan penghasilan hanya Rp4 juta.

Itu artinya, penghasilan di bulan itu tidak terkena nishab. Maka ia tidak wajib membayar zakat. Namun, hal tersebut tidak mengurungkan niatnya untuk berinfak setiap harinya ke celengan mushalla dekat rumahnya, dari sebagian penghasilannya berjualan.

Kedua; zakat profesi/ gaji dianalogikakan dengan zakat emas/perdagangan ditunaikan setahun sekali dengan nishab emas 85 gram asumsi harga emas sekarang Rp. 500.000/ gram. Nishabnya setara setara dengan Rp. 42.500.000,-

Ini cara kedua untuk mengeluarkan zakat, bagi mereka yang berpenghasilan tidak tetap. Bisa ditotal selama satu tahun, dan dibayar sekaligus. Pembedanya adalah, nilai nishabnya mengacu pada nilai emas seberat 85 gram emas. Di mana, seluruh penghasilan yang diterima dijumlahkan, jika telah melebihi perhitungan nishab di atas, Rp42,5 juta maka wajib dikenakan zakat sebesar 2.5% atau nilai minimal nominal Rp.1.062.500,-

Masih dari contoh Yongki di atas, katakanlah penghasilannya rata-rata perbulan adalah sebesar Rp5 juta/bulan dengan fluktuasi penghasilan yang tidak lebih besar dari 20%, maka di akhir tahun akan didapat jumlah penghasilan sebesar Rp60 juta rupiah.

Hal tersebut berarti, penghasilan Yongki telah memenuhi nishab dan wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 2.5% x Rp60 juta yakni sebesar Rp1,5 juta rupiah. Dan dibayarkan setelah tutup tahun (genap 12 bulan perhitungan).

Kondisi ini bisa dipakai, dan tergantung dengan kekuatan finansial sang muzakki. Pasalnya, membayar ratusan ribu per bulan tentu lebih ringan daripada membayar jutaan di akhir tahun. Karena akan memberatkan dan bisa saja di akhir tahun terjadi sesuatu pada kondisi darurat keuangan, sehingga dapat mengakibatkan tak mampu membayar zakat.

Semoga membantu, Wallahualam.
(dari berbagai sumber)

2015-04-20

Saat Imam Syafei Menginap di Rumah Imam Ahmad

Tags
Kisah Imam Syafei dan Imam AhmadSuatu ketika, Imam Syafei rindu dan ingin berjumpa dengan salah seorang anak muridnya yang cerdas lagi shalih. Siapa lagi kalau bukan Imam Ahmad bin Hambal. Sebagaimana kisahnya  ditemukan dalam kitab Min A’lamis Salaf (Edisi Indonesia : 60 Biografi Ulama Salaf ) karya Syaikh Ahmad Farid.

Syahdan, dalam kunjungannya itu Imam Syafei memutuskan untuk menginap. Kunjungan ulama besar lagi berilmu itu, ternyata meninggalkan kesan bagi putri Imam Ahmad bin Hambal. Ia melihat, sang imam guru dari ayahnya itu, dalam jamuan makan malam, Imam Syafei makan banyak dan lahap sekali.

Lalu, setelah masuk kamar untuk beristirahat, Putri Imam Ahmad pun tidak melihat Imam Syafii shalat malam. Dan yang lebih mengejutkan, ia tidak melihat sama sekali Imam Syafei berwudhu saat akan melangsungkan Shalat Subuh.



Karena heran dengan ‘perilaku’ ulama sekaliber Imam Syafei, membuat Putri Imam Ahmad pun bertanya terheran-heran dan menyampaikannya kepada ayahnya.

“Wahai Ayah, benarkah ini Imam Syafei yang sering Kau ceritakan?”.
Imam Ahmad menjawab, “Benar putriku!”“
“Ada tiga hal yang saya perhatikan darinya dan tampaknya tidak wajar ada pada seorang imam besar seperi Imam Syafei”, lanjut putrinya.

“Oya, apakah itu?”

“Pertama saat kami suguhkan makanan kepadanya, dia makan banyak sekali. Saya heran, bagaimana ia bisa makan sebanyak itu. Bukankah, kita harus menjaga perut dari makan yang terlalu banyak?
Kedua, saat dia masuk kamar, saya tidak melihat dia menjalankan shalat malam. Baru menjelang Subuh ia terbangun. Ketiga, saat shalat Shubuh dengan kita, dia sama sekali tidak berwudhu, padahal baru bangun tidur.” kata putrinya.

Imam Ahmad tersenyum dan diam saja, tentu ada penjelasan dari sang guru tentang apa yang ditanyakan oleh putrinya itu.

Dalam satu kesempatan, biidznillah, saat Imam Syafei berpapasan dengan Imam Ahmad bin Hanbal, lantas Imam Syafii berkata kepadanya tentang tiga hal yang dipertanyakan putrinya.
 .
“Wahai, Ahmad!”, kata Imam Syafei. “Aku makan banyak sekali saat bertamu dan menginap di rumahmu.Karena aku tahu bahwa makan-makananmu dari harta yang halal. Sesungguhnya engkau adalah orang mulia, dan makanan orang mulia adalah obat, dan makanan orang kikir adalah penyakit. Saya tidak makan untuk sekedar kenyang, sesungguhnya aku memakan makananmu untuk obat.”, jawab Imam Syafei.

“Adapun mengenai aku tidak shalat malam. Itu benar. Karena setiap kali aku meletakkan kepalaku untuk tidur, saya melihat seakan di depanku ada Al Quran dan Al Hadits, Allah membukanya untukku dengan 72 masalah ilmu fiqh. Aku berharap ummat memanfaatkannya. Dan saking asyik dan menikmati pengajaran ilmu malam itu, aku jadinya tidak menemukan kesempatan untuk shalat malam,” lanjut Imam Syafei.


Kemudian Imam Syafei juga berkata, “Terkait dengan shalat Shbuh yang tanpa wudhu, Demi Allah saya tidak tidur kecuali sebelumnya saya memperbarui wudhu. Sepanjang malam saya tidak tidur, maka saya shalat Shubuh dengan kalian dengan wudhu shalat Isya’”.

Subhanallah. Sungguh indah kisah dua orang yang dimuliakan oleh Allah karena ilmunya. Keilmuan mereka tak sebatas teori saja, namun sudah menetap dan mendarah daging dalam amalan sehari-hari. Semoga kita bisa mengmabil hikmah dari kisah di atas, wallahualam. (*)