Namanya Muhammad Fathir Maulana, usianya baru 5 tahun. Nama panggilannya Fathir, sedangkan nama 'aku'-nya Atil - karena lidahnya masih cadel. Ia anak kedua saya. Dibanding dengan kakak perempuannya, kulit Fathir lebih hitam, hidungnya mancung.
Sepintas ada muka-muka orang India. Kata isteri
sih, buyut jauh dari
makde (neneknya-
red), ada yang menikah dengan orang India. Jadi mungkin itu gen resesif yang muncul di Fathir.
Ok. Demikian perkenalan singkatnya.
Tanpa hendak membandingkan kasih sayang orangtua kepada anaknya - apalagi, katanya seorang Ayah akan lebih menyukai anak laki-laki, faktanya punya anak lelaki memang melahirkan energi kasih yang lebih besar. Hal itulah yang saya rasakan.
Di samping itu, Fathir telah memberikan banyak pelajaran kepada saya. Salah satunya :
Jangan Remehkan Tekad Kuat Anak-Anak!
Jika banyak motivator yang memberikan ceramahnya menggunakan analogi kegigihan seorang anak belajar berjalan : meskipun berulang kali jatuh, namun tetap semangat.
Maka, di depan mata, 'motivasi' itu berbentuk pelajaran hidup yang menakjubkan dari anak sendiri. Penasaran?
Begini cerita lengkapnya.
Beberapa hari yang lalu, tepatnya Selasa (28/3/2017), saat tengah asyik bekerja di rumah, Fathir tiba-tiba pulang dari main membawa sepeda roda empatnya. Langsung teriak dari halaman, "
Abiii!! Paske loda sepida Atil. Atil nak cak Kak Indi".
Saya refleks menoleh. Langsung paham dengan perkataannya yang berarti, ia meminta lepaskan roda kiri-kanannya, pengen bersepeda roda dua kayak kakak Rendi, anak tetangga sebelah rumah.
"Sebentar ya, Abi lagi kerja. Tunggu, satu berita lagi", kata Saya.
Belum lima menit, ia kembali
ngoceh-ngoceh, "
Abii, ipaske loda sepida Atil."
(1)
Kali ini, ia datang menyeret
toolbox saya. Ia tahu alat-alat mekanik ada dalam kotak kecil berwarna hitam hijau itu.
Akhirnya, saya pun bangkit dari tempat duduk dan mulai menghampirinya. "Memang Fathir sudah berani?"
"
Blani!"
(2), jawabnya mantap.
"Lepas satu roda saja dulu ya, nanti kalo sudah bisa, baru lepas semua", kata saya lagi.
"
Idak! Lepaslah galo-galo. Atil pengen cak Kakak Indi", (3) ulangnya.
Malas berdebat dan tak ingin mematahkan semangatnya, maka saya pun lepaskan satu-persatu roda-roda sampingnya. Sambil bergumam dalam hati, paling-paling nanti juga ia ribut minta dipasangkan lagi.
Tak sampai sepuluh menit, sepeda itu pun siap dengan dua rodanya.
"
Skalang, Abi lewangi Atil. Dolong Atil dali belakang", (4) ucapnya memberi perintah untuk menemaninya bermain sepeda dan mendorong dari belakang.
Ho-ho, boleh juga anak ini. Tapi saya tak mau langsung 'kalah', Saya pun menawar, "Sebentar ya, Abi upload satu-dua berita dulu..", sahut saya, sambil langsung kembali ke kursi kerja.
Ia pun menunggu sambil duduk manis di dekat sepedanya. Tapi itu tidak lama, jeda sepeminuman teh, si Fathir memberikan komando lagi.
"
Abii.., cepetlah !!", katanya sambil bersedekap dan memandang ke arah saya. Serius sekali mimiknya. Kerutan kening ia tekuk dalam-dalam hingga kedua alis nyaris tertaut. Inilah jurus andalan Fathir, jika keinginannya belum terpenuhi.
"Yo-yo, sudah ini. Ayo kita berangkat".
Maka, jadilah dua beranak ini, di bawah terik matahari yang mulai menyengat, bermain sepeda. Saya mendorong melalui sadelnya sambil menjaga keseimbangan dan ia mulai mengayuh.
Karena terbiasa dengan bantuan dua roda kecil, di kanan-kiri sepeda, maka ia pun sesekali oleng. Matanya lebih sering melihat ke belakang. Mewaspadai jika saya kabur dan tidak memeganginya.
Meski begitu ia terus mengayuh. Tak terhitung lagi, sudah berapa kali pedal sepeda mendarat di tulang keringnya. Ia hanya meringis kecil, terus mendorong pedal lagi. Semangat sekali.
Dua puluh menit saya mandi keringat, karena harus ikut lari-larian. Sementara, muka Fathir juga sudah memerah. Saya yang menyerah duluan. "Fathir, pulang dulu yuk. Abi mo kerja lagi"
"Idak. Atil masih nak maen sepida", (5) jawabnya tanpa menoleh lagi ke saya.
Ya sudah, saya pun ngeloyor pulang. Cari minum, terus
ngejoglok lagi di depan komputer. Maklumlah, saya bekerja sebagai admin web sekaligus editor di salah satu portal berita lokal. Jadi memungkinkan untuk bekerja secara
remote, alias dari rumah.
Balik lagi ke cerita Fathir.
Tak lama, Fathir pulang sambil menuntun sepedanya. Mukanya memerah, dibanjiri keringat. Begitupun juga dengan bajunya, basah. Kakinya kotor penuh debu. Betisnya banyak garis-garis hitam, bekas terkena rantai sepeda. Sementara dua sikunya lecet, ada bekas darah yang mengering. Rupanya ia terjatuh. Saya diam tidak berkomentar.
|
Senyum kemenangan Fathir, meski dua luka lecet hiasi dua sikunya |
Fathir segera mengambil air galon, dan meminumnya. Setelah itu ia
cabut lagi.
"Abi, Atil nak maen lagi". (6)
"Mau Abi temani?"
"
Idak usah. Abi lagi gawe. Atil dewekan bae". (7)
Wuelah, keren nih anak saya. Pengertian banget ya..
Dan begitulah, tanpa menyerah ia terus belajar mengayuh pedal sepeda. Bergantian kaki kiri dan kanannya, menyanggah tubuh mungilnya, mencari titik keseimbangan.
Menjelang sore, ia latihan bersama kakaknya, yang baru pulang dari sekolah siangnya. Ia tambah semangat sementara kakaknya juga ikut mengiring sambil bersepeda pula.
Dan inilah yang saya sebut tekad baja seorang anak. Saat pulang, kakaknya dengan sumringah memberi tahu kami bahwa Fathir sudah bisa bersepeda.
Saya dan isteri melongo, saling berpandangan tak percaya. Sementara di belakang, mengiring Fathir sambil senyam-senyum penuh arti. Bak seorang tentara yang baru pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan.
"Atil la pacak Abi, Atil la biso besepida Umi", (8) ujarnya dengan mata berbinar.
"Alhamdulillah, selamat ya", ucap kami bersamaan penuh syukur. Ya kesyukuran atas sebuah kemandirian yang ditunjukkan oleh Fathir.
|
Inilah inspirasi saya : Fathir
|
Pelajaran berharga dari Fathir
Sepertinya sepele, anak belajar bersepeda lalu bisa. Namun bagi saya ini sangat luar biasa!
Bagaimana tidak, "hanya" butuh waktu satu hari saja bagi Fathir untuk belajar bersepeda roda dua. Tekad dan keberanian yang sangat patut dicontoh.
Dan dari senyum kemenangan yang menghias bibirnya, seolah merupakan sebentuk deklarasi atas kemenangannya dalam memenangkan tindakan inisiatif, mengalahkan rasa takut dan berhasil menggugurkan keraguan banyak orang.
Berikut selengkapnya poin penting yang bisa saya simpulkan :
Pertama, ia datang kepada saya minta dilepaskan roda samping sepedanya. Padahal, kami tidak pernah sekalipun meminta ia untuk melepasnya. Ini mengajarkan kepada saya tentang niat, inisiatif dan antusiasme.
Kedua, pelajaran berikutnya adalah berani. Atau kata orang dewasa, disebut sebagai tindakan "
Action!". Andai saja, ia mengenal kata takut dan mengalasankan resiko jatuh dari sepeda, yang bisa menyebabkan memar dan luka di kaki. Bisa saja ia akan mundur dan lebih baik mengambil aman.
Ketiga, tentang usaha dan proses. Memang, bukan proses instan jika pada hari itu Fathir bisa "langsung" bersepeda. Karena, sudah enam bulan lebih ia memakai sepedanya saat masih beroda empat. Jadi, mustahil seseorang bisa menguasai suatu bidang tanpa mempelajarinya dengan tekun. Soal berhasil atau tidak pada hari-H, tentu akan sangat tergantung dengan keulatan pada saat belajar.
Gagal? Itu biasa. Jatuh dari sepeda? Sudah pasti. Menyerah? Malulah sama anak kecil..
Gambar di atas, merupakan sepeda Fathir, hasil "modifikasi" dari sepeda kakaknya. Semula ini jenisnya sepeda anak perempuan. Berkelir merah jambu, ada keranjang di depannya, dan ada box pula di belakangnya. Setelah dilangsir ke adiknya beberapa tahun kemudian, sepeda itu dirombak total menjadi warna biru, segala aksesoris berbau perempuan dilepas dan rodanya pun diganti dengan ban pejal.
Jadi lebih macho!
Meski demikian, tidak dipungkiri, perubahan itu tak mampu menutupi kesan butut pada sepeda itu. Wajarlah, setelah dua tahun di tangan kakaknya, baru diwariskan ke Fathir.
Sabar ya Nak, tunggu genapkan usiamu masuk sekolah nanti. Abi akan menghadiahkan sepeda baru untuk mu. Abi sudah lihat di Elevenia, ada
sepeda anak yang bagus, harganya sekitar 800-ribuan. Mudah-mudahan ada rezekinya nanti untuk anak hebat seperti kamu.
Hadiah yang tentunya sangat engkau idam-idamkan. Yang dulu, sempat menjadi keinginan, namun kemudian engkau 'mengalah' untuk menerima lengseran saja dari kakakmu. Mengingat saat itu keuangan lagi pas-pasan, sehingga sepeda pun tidak masuk ke dalam prioritas belanja.
Dan Abi kira engkau pantas mendapatkannya. Karena Abi menyayangimu. Lebih dari sekedar karena engkau adalah darah daging Abi, tapi engkau telah mengajarkan tentang pelajaran hidup yang sangat penting; tentang tekad, keberanian dan langsung
action!
Sesuatu yang - entah mengapa, di dunia orang dewasa menjadi hal yang begitu rumit. Menjadi mahal. Karena untuk mendapatkannya secara konsisten, harus diberikan pelatihan berbayar dan dilakukan berulang-ulang untuk mengubah
mindset-nya.
|
My Lovely Family |
Terima kasih Nak. Abi sayang Fathir. Sebagaimana Abi menyayangi Umi dan Kakakmu Nayla.
-----
Glosarium :
1. Abi, lepaskan roda sepeda Fathir
2. Berani!
3. Tidak mau! Lepaskan semuanya saja. Fathir pengen kayak Kakak Rindi
4. Sekarang, temani Fathir main sepeda. Dorong Fathir dari belakang!
5. Tidak mau. Fathir masih ingin main sepeda.
6. Abi, Fathir mau main lagi
7. Tidak usah. Abi lagi kerja. Fathir main sendirian saja
8. Fathir sudah bisa Abi. Fathir sudah bisa bersepeda Umi