2016-02-01

Hasan Al Bashri dan Kuli Pengangkut Air


Kisah Hasan Al Bahri dan Kuli Pengangkut Air

Alkisah, diriwayatkan dalam beberapa kali perjumpaan, Hasan Al Bashri melihat kelakuan seorang kuli pengangkut air yang tak henti-hentinya mengucapkan tahmid (ucapan alhamdulillahirabbil alaammin, red) dan istighfar.

Apa pun yang tengah dikerjakan sang kuli tersebut, bibirnya seakan tak pernah berhenti mengucapkannya. Saat mengangkat wadah air ke bahunya, bibirnya berucap kedua kalimat yang baik itu.

Begitu pula saat memuat air, menuangkannya, memanggul wadah kosong hingga jeda istirahat di antara pekerjaannya, bibirnya senantiasa bergetar melantunkan kalimat tahmid dan istighfar.
Hasan Al Bashri sering mengamatinya dari jauh. Karena merasa tertarik, ia lalu mencari tahu tentang orang tersebut dan berniat mendatangi tempatnya beristirahat. Hingga tibalah saat sang kuli beristirahat. Sang imam lantas menyongsongkan tubuhnya, duduk di samping sang kuli dan bersandar di sebuah pohon.

Rupanya, kuli tadi tidak pernah melihat wajah Hasan Al Bashri dan tidak pernah bertemu langsung. Hanya nama besarnya saja yang sering terdengar. Maka setelah mengucapkan salam, sang imam tak sabar lagi menyampaikan maksud dan tujuannya.

“Aku sering melihat engkau senantiasa berucap kata-kata tahmid dan istighfar itu. Kalau boleh tahu sejak kapan engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri.

“Sudah lama”, jawab sang kuli pengangkut air sambil menyeka peluh yang membasahi dahinya.

“Kenapa engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri.

Sang kuli  menarik nafas sejenak dan menjawab, “Karena kita selalu berada dalam dua keadaan, kala kita mendapatkan nikmat, seperti nikmat Iman, nikmat Islam dan nikmat kesehatan, kita harus bersyukur kepada Allah.

Namun kala kita berada dalam kondisi lalai, banyak melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kemudharatan, kita harus meminta ampun kepada-Nya,” jawab sang kuli.

Sang Imam menganguk-anguk tanda setuju dengan pendapat sang kuli, “Lalu apa faidahnya jika engkau mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri lagi.

“Doa-doaku selalu dikabulkan”, ujarnya tersenyum penuh arti. Namun sesaat kemudian, alisnya turun tanda masih menyimpan kesedihan. “Tapi ada satu doaku yang belum Allah kabulkan,” katanya perlahan.

“Boleh aku tahu doa apa itu?”, ujar sang Imam tambah penasaran.

“Allah belum mengabulkan doaku untuk bertemu dengan ulama yang sangat aku kagumi,” jawabnya dengan wajah tertunduk.

“Siapakah ulama itu?” selidik Imam Hasan Al Bashri. Siapakah gerangan Imam yang menjadi bagian dari doa Sang Kuli.

Lelaki pemanggul air itu terdiam sesaat dalam tunduknya lalu berujar pelan, “Aku ingin bertemu dengan Hasan Al-Basri”

Tertegun sejenak karena kagum, Hasan Al-Basri kemudian memeluk sang kuli  dan berkata, “Sekarang Allah telah mengabulkan doamu, akulah Hasan Al-Basri itu,” ujar Imam Hasan sembari tersenyum lebar.

Sang kuli pun terkejut dan melepaskan pelukan sang imam dan menatap wajah di hadapannya dalam-dalam. Wajah yang bersih, teduh dan memancarkan kedamaian. Mengapa ia tidak memperhatikan lawan bicaranya sejak semula?

Bukankah wajah-wajah teduh seperti inilah wajah khas ulama. Dan kini, di hadapannya duduk sosok Imam yang telah lama dikaguminya. Lantas bibirnya lanjut mengucap puji syukur karena Allah telah mengabulkan doanya. Subhanallah..

Saudaraku, kisah yang berangkat dari kisah hidup Hasan Al Bashri ini mengajarkan kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa mawas diri. Baik dalam niat, perkataan dan perbuatan. Saat menerima rizki, sudah sepatutnya kita selalu berucap syukur. Begitupun saat menyadari ada jeda waktu kita yang terlalaikan, maka kalimat istighfar hendaklah tak surut bergumam di bibir ini dan membenarkannya dalam hati. Wallahualam bishawab. (*)

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon