Alkisah, diriwayatkan dalam beberapa kali perjumpaan, Hasan
Al Bashri melihat kelakuan seorang kuli pengangkut air yang tak henti-hentinya
mengucapkan tahmid (ucapan alhamdulillahirabbil alaammin, red) dan
istighfar.
Apa pun yang tengah dikerjakan sang kuli tersebut, bibirnya
seakan tak pernah berhenti mengucapkannya. Saat mengangkat wadah air ke
bahunya, bibirnya berucap kedua kalimat yang baik itu.
Begitu pula saat memuat air, menuangkannya, memanggul wadah
kosong hingga jeda istirahat di antara pekerjaannya, bibirnya senantiasa
bergetar melantunkan kalimat tahmid dan istighfar.
Hasan Al Bashri sering mengamatinya dari jauh. Karena merasa
tertarik, ia lalu mencari tahu tentang orang tersebut dan berniat mendatangi tempatnya
beristirahat. Hingga tibalah saat sang kuli beristirahat. Sang imam lantas
menyongsongkan tubuhnya, duduk di samping sang kuli dan bersandar di sebuah
pohon.
Rupanya, kuli tadi tidak pernah melihat wajah Hasan Al
Bashri dan tidak pernah bertemu langsung. Hanya nama besarnya saja yang sering
terdengar. Maka setelah mengucapkan salam, sang imam tak sabar lagi
menyampaikan maksud dan tujuannya.
“Aku sering melihat engkau senantiasa berucap kata-kata
tahmid dan istighfar itu. Kalau boleh tahu sejak kapan engkau selalu
mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan Al-Basri.
“Sudah lama”, jawab sang kuli pengangkut air sambil menyeka
peluh yang membasahi dahinya.
“Kenapa engkau selalu mengucapkan dua kalimat tersebut?,”
tanya Hasan Al-Basri.
Sang kuli menarik
nafas sejenak dan menjawab, “Karena kita selalu berada dalam dua keadaan, kala
kita mendapatkan nikmat, seperti nikmat Iman, nikmat Islam dan nikmat
kesehatan, kita harus bersyukur kepada Allah.
Namun kala kita berada dalam kondisi lalai, banyak melakukan
sesuatu yang tidak bermanfaat dan menimbulkan kemudharatan, kita harus meminta
ampun kepada-Nya,” jawab sang kuli.
Sang Imam menganguk-anguk tanda setuju dengan pendapat sang kuli,
“Lalu apa faidahnya jika engkau mengucapkan dua kalimat tersebut?,” tanya Hasan
Al-Basri lagi.
“Doa-doaku selalu dikabulkan”, ujarnya tersenyum penuh arti.
Namun sesaat kemudian, alisnya turun tanda masih menyimpan kesedihan. “Tapi ada
satu doaku yang belum Allah kabulkan,” katanya perlahan.
“Boleh aku tahu doa apa itu?”, ujar sang Imam tambah
penasaran.
“Allah belum mengabulkan doaku untuk bertemu dengan ulama
yang sangat aku kagumi,” jawabnya dengan wajah tertunduk.
“Siapakah ulama itu?” selidik Imam Hasan Al Bashri. Siapakah
gerangan Imam yang menjadi bagian dari doa Sang Kuli.
Lelaki pemanggul air itu terdiam sesaat dalam tunduknya lalu
berujar pelan, “Aku ingin bertemu dengan Hasan Al-Basri”
Tertegun sejenak karena kagum, Hasan Al-Basri kemudian
memeluk sang kuli dan berkata, “Sekarang
Allah telah mengabulkan doamu, akulah Hasan Al-Basri itu,” ujar Imam Hasan
sembari tersenyum lebar.
Sang kuli pun terkejut dan melepaskan pelukan sang imam dan
menatap wajah di hadapannya dalam-dalam. Wajah yang bersih, teduh dan
memancarkan kedamaian. Mengapa ia tidak memperhatikan lawan bicaranya sejak
semula?
Bukankah wajah-wajah teduh seperti inilah wajah khas ulama.
Dan kini, di hadapannya duduk sosok Imam yang telah lama dikaguminya. Lantas
bibirnya lanjut mengucap puji syukur karena Allah telah mengabulkan doanya. Subhanallah..
Saudaraku, kisah yang berangkat dari kisah hidup Hasan Al
Bashri ini mengajarkan kepada kita akan pentingnya untuk senantiasa mawas diri.
Baik dalam niat, perkataan dan perbuatan. Saat menerima rizki, sudah sepatutnya
kita selalu berucap syukur. Begitupun saat menyadari ada jeda waktu kita yang
terlalaikan, maka kalimat istighfar hendaklah tak surut bergumam di bibir ini
dan membenarkannya dalam hati. Wallahualam bishawab. (*)
Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon