2010-04-04

Mewujudkan Kampus Idaman (3) : Perguruan Tinggi Bersemangat Entrepreneurship

Pakde Zaki punya teman, namanya Emha Riswani. Dia lulusan fakultas teknik di salah satu perguruan tinggi idaman di kotanya. Karena Pakde sedang ingin buat tulisan untuk disertakan dalam Lomba Blog UII (Universitas Islam Indonesia), maka ia pun mengarahkan pembicaraan yang intinya meminta pandangan Emha tentang kriteria Perguruan Tinggi Idaman-nya.

Maka terbentuklah semacam wawancara imajiner, antara tokoh Pakde dengan Emha. Berikut petikan wawancaranya :

Kok Bisa?

Bisalah. Sehari palingan saya kerja dua sampe tiga jam saja. Selebihnya ya nongkrong di sini. Kalo nggak, paling ngajak putri saya sama ibunya jalan-jalan. Pekerjaan saya? Cuma mainin internet di laptop saja seharian. Ya, menggarap bisnis daring kata banyak blogger.

Gimana caranya Mas?

Nah, penasaran khan. Pasti..

Tapi saya ingatkan loh, Pakde ini sedang wawancara saya tentang kampus idaman bukan bisnis daring.

Oiya, saya lupa. Terima kasih udah diingetin. Iya deh langsung aja, mo minta pendapat sampeyan tentang kampus idaman, yang bagaimana itu?

Nah gitu, back to topic – yang fokus biar gak OOT.

Apa itu OOT, Mas?

Walah, masa gak tahu sih. Sering-sering online ke forum-forum biar bisa ngapdet bahasa gaul. OOT itu Out of topic, keluar dari pembahasan.

Kalo saya disuruh kuliah lagi, saya ingin kampus yang berani memberi jaminan bahwa lulusannya bisa langsung diserap dunia kerja atau berani langsung buka wirausaha. Titik! Gitu saja..

Masak cuma segitu. Yang lain pasti sudah pernah mengusung ide ini. Kampus berorientasi entrepreneur.

Pakde, sampeyan percaya ndak dengan istilah, ”Tidak ada hal baru lagi di bawah langit?” Yang baru itu cuma inovasi. Kombinasi antara hal-hal yang sudah ada. Selama ide itu masih dipikirkan oleh manusia yang berada di bawah atmosfir dan berjalan di atas bumi. Artinya sebuah ide itu bisa dikembangkan. Tinggal, ada kemauan yang besar tidak, untuk mewujudkannya.

Apalagi sekedar mewujudkan kampus yang bersemangat kewirausahaan. Toh, bangsa kita punya banyak profesor dengan ilmu teori begitu luas serta para saudagar yang kenyang dengan pengalaman di lapangan. Tinggal kombinasi aja keduanya. Makanya dengan semangat kewirausahaan seperti ini, pihak kampus bisa berinovasi menggaet pihak ketiga untuk membiayai operasional kampus dengan membentuk kampus. Sehingga biaya yang dibebankan kepada mahasiswa bisa terjangkau.

Kalo dari sampeyan sendiri gimana konkretnya?

Kalo saya sih, melihat dari tiga faktor pentingnya. Pertama, input. Kedua, proses dan yang ketiga, output. Kalo yang output sudah jelas seperti yang saya bilang tadi.








Dari segi input, sejak awal pihak kampus sudah bisa memberikan gambaran kepada cama-cami (calon mahasiswa/i) yang mendaftar, mau ditamatkan seperti apa mereka. Apa mau jadi tenaga kerja yang profesional, apa mau jadi entrepreneur sukses atau malah hanya sekedar ingin mengambil status sosial sebagai seorang mahasiswa? 

Kalo pilihan yang terakhir, lebih baik pihak kampus menolaknya saja. Hanya jadi beban saja. Atau malah menjadi sebab kampusnya gagal meraih perhatian orangtua sebagai perguruan tinggi idaman.

Pokoknya jangan seperti saya.

Kok jangan seperti sampeyan? Bukannya sekarang sudah sukses berwirausaha.

Pakde hanya lihat keadaan saya sekarang saja. (Terdiam dan menghela nafas)

Dulu saya ini apa coba. Lulus memang IPK 3,0. Tapi apa manfaatnya. Jualan ijazah ke sana-ke mari nggak laku-laku. Ikut ujian ini-itu, nggak tembus-tembus. Apa salah saya? Padahal kuliah saya rajin. Baju dimasukin, rambut nggak gondrong, pake sepatu, taat omongan dosen, ujian ngerjain sendiri, hono-hene...

Namun akhirnya saya sadar. Saya cuma korban. Ya, korban dari ketidak pedulian pihak fakultas yang enteng saja menganggap bahwa setiap mahasiswa itu bisa mandiri tanpa perlu bimbingan. Padahal saya ini tipe orang yang disiplin bila lingkungan mendukung. Dan kenyataannya tidak...

Makanya, ketika Pakde tadi tanya ke saya, kampus idaman seperti apa yang saya inginkan, yang terpikir pertama dalam pikiran, kampus jangan seenaknya melepas mahasiswa sehingga dibiarkan tanpa tujuan.





Sehingga ada interaktif dan timbul semangat di dalam diri mahasiswa akan diarahkan ke mana studi mereka. Kalau bisa kuliah hanya empat tahun dan langsung bisa kerja atau buka usaha, ngapain lama-lama. Saya yakin, perguruan tinggi favorit Indonesia sekalipun, belum tentu terpikir seperti ide saya ini. Resikonya terlalu berani!

Biasanya yang menyebabkan seorang mahasiswa itu lambat tamat adalah karena sudah kehilangan orientasi. Dan apa pasalnya? Bisa jadi karena suasana kampus – dosen, silabus kuliah dan fasilitas, yang nggak bisa dibanggain. Lemah semangat. Nggak akan rugilah, bila kampus menerapkan proses ini. Anggap saja investasi kampus menuju perguruan tinggi terbaik.

Terus terang saya iri dengan mereka yang kuliah di Kedokteran sama FKIP. Muaranya jelas dan tenaga mereka selalu dibutuhkan. Dijamin mereka tidak akan menganggur.

Terus kalo faktor ’Proses’ yang sampeyan omong tadi?

Nah, tentang proses ini sebaiknya kita lihat bagaimana kebanyakan proses perkuliahan berjalan. Pengalaman saya kuliah di teknik, lebih banyak belajar ilmu-ilmu lawas. Entah mungkin karena imu yang saya pelajari memang termasuk ilmu induk, mekanika. Jadinya yang saya pelajari buku-buku teks yang usianya hampir sama saat saya kuliah itu.

Atau mungkin juga kampus saya belum terkena demam multimedia. Sehingga pada saat mengajar cukup dengan spidol dan white board. Atau agak ’kerenan’ sedikit, pake OHP. Sehingga, tidak muncul semangat dari saya waktu itu untuk menggali lebih dalam. Belajar secukup sajalah. Sehingga, semangat organisasi lebih dirasa menggairahkan, dibanding duduk menghadap tumpukan buku teks tua di perpustakaan. Apalagi kebanyakan bukunya berbahasa Inggris.

Nah, terkait Bahasa Inggris ini, taruhan dah. Lebih dari 70% mahasiswa di suatu perguruan tinggi, tidak mahir berbahasa Inggris. Lebih banyak mengandalkan bantuan perangkat lunak seperti transtool untuk menerjemahkan artikel-artikel kuliah – atau kalo sekarang mungkin mengandalkan google translate.

Saya juga membayangkan, mahasiswa-mahasiswa ini dipersiapkan khusus pengembangan skill cas-cis-cus berbahasa inggris ini. Alangkah hebatnya bila selama setahun, setiap mahasiswa yang baru masuk dikonsentrasikan pada kelas persiapan. Di dalamnya bisa berupa pendalaman Bahasa Inggris, ilmu-ilmu dasar terkait bidang studi yang diambil.

Memang, pada umumnya silabus kuliah sudah menyusun mata kuliah dari hal yang paling dasar. Seperti jaman saya itu ada Pendidikan Agama Islamnya, Bahasa Inggris, Kewiraan (semacam PPKN), Fisika Dasar, Kimia Dasar dan sebagainya. Namun sekali lagi, sayangnya hanya untuk memenuhi tuntutan kurikulum saja. Beban SKS Bahasa Inggris misalnya hanya 2 SKS dalam seminggu.

Saya kira, bila keseluruhan mata kuliah ini bisa dikonsentrasikan dalam satu paket – bisa berbentuk paket persiapan dan tidak terkotak-kotak lagi dalam bentuk SKS. Jadi mahasiswa selama setahun itu, diperlakukan mirip anak SMA saja dulu. Setiap hari masuk, setiap hari dalam seminggu itu diberikan penjurusan yang jelas. Sehingga, bila merasa tak cocok bisa pindah ke jurusan yang sesuai dengan minatnya. Setelah dasarnya kuat, semester tiga mereka sudah bisa dilepas. Sesuai dengan minat penjurusan masing-masing.

Cerdas sekali usulan sampeyan, tapi apa mungkin? Soalnya setiap dosen kan biasanya tidak hanya mengajar di satu tempat?

Lha, itu bukan urusan mahasiswa. Itu tanggungjawab pihak universitasnya. Kalo mau membuat terobosan, buatlah terobosan yang benar-benar maksimal. Perhitungan sederhananya seperti ini, bila kampus bisa menahan dosen untuk tidak ’berkaki dua’ dengan mengajar di tempat lain. Maka ia akan berkonsentrasi mengajar di kampus tersebut dan bila renumerasi yang diberikan cukup memenuhi kebutuhan pokoknya, insya allah inovasi-inovasi baru akan diberikan kepada pihak kampus sebagi bentuk loyalitasnya.

Okelah. Terus selanjutnya bagaimana?

Nah setelah matang ’pembibitan’ ini, sejak semester tiga mahasiswa silahkan diberikan mata kuliah lanjutan. Kalo yang ini setiap jurusan sudah punya standar masing-masing. Tak harus selalu dalam kelas. Sisipkan dengan belajar luar kampus, pemaksimalan fungsi laboratorium, diskuasi interaktif dan pemanfaatan perangkat multimedia yang ada di kampus.

Setelah itu, menginjak semester lima atau enam, mulai padukan perkuliahan dengan silabus kewirausahaan. Jangan hanya teori. Jalin kerjasama dengan pihak perusahaan/pihak-pihak di luar kampus untuk menerdiakan perangkat pembelajaran. Disesuaikan dengan spesialisasi konsentrasi ilmu yang diambil.

Hal ini bisa dikaitkan dengan semangat kewirausahaan pihak kampus sendiri. Misalnya seperti ini, untuk pengadaan peralatan laboratorium mutakhir pihak kampus bisa menjalin kerjasama dengan vendor penyedia. Sehingga, pembelian peralatan bisa dipangkas harganya. Syukur-syukur bisa diberikan gratis. Tentu, tidak ada barang yang benar-benar gratis. Tapi, bila kampus bisa memberikan posisi tawar yang bagus, tidak ada hal yang mustahil.

Maksudnya, akan ada timbal balik ke pihak vendor yang menguntungkan juga khan?

Betul sekali. Seperti menjadi mediator antara masyarakat binaan sekitar kampus dengan pihak vendor. Sekaligus, misalkan mendemonstrasikan bantuan peralatan yang diberikan pihak vendor kepada kampus. Bahwa, bantuan yang diberikan tadi akan dioptimalkan bagi pengembangan kebaikan dan peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar. Sifat kerjasamanya bisa diikat dalam perjanjian jangka pendek maupun jangka panjang.

Bila ini berjalan, akan banyak keuntungan yang didapat. Pertama, pihak vendor akan merasakan manfaat publikasi berbahasa ilmiah sekaligus bagian dari kebijakan CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Belum tentu hal yang sama akan mereka dapatkan bila sekedar memasang iklan komersil atau advertorial seremoni saja.

Kedua, dari pihak kampus tentu ini akan mengurangi beban operasional pengeluaran. Mereka tak harus menguras isi kas mereka terlampau dalam. Ketiga, tentu ke mahasiswanya. Biaya kuliah dapat terjaga keterjangkauannya. Sekaligus, dari proses ini, mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu (fakultas) dapat diikutsertakan sebagai bagian dari ilmu kewirausahaan. Bagaimana ilmu bernegoisasi, mencari rekanan, melayani masyarakat dan sebagainya.

Mmm, benar juga ya?

Benar. Keuntungan lainnya, mahasiswa bisa mengambil judul untuk tugas akhirnya berdasarkan studi kasus yang mereka lakukan selama proses negoisasi tadi. Sekali lagi, pola yang saya usulkan ini tadi, benar-benar harus melibatkan mahasiswa secara aktif. Terutama dalam fase-fase kewirausahaan yang tengah dijalankan oleh kampus. Tujuannya tentu untuk memberikan wawasan seluas-luasnya mengenai dunia entrepreneurship yang sesungguhnya.

Ada contoh Perguruan Tinggi Idaman seperti yang sampeyan urai panjang lebar tadi?

Hmm, kalo 100%, belum ada saya lihat. Tapi tentang hal ini, saya jadi teringat dengan rekan blogger Nico Wijaya, pemenang Microsoft Bloggership 2010 award. Dia itu lulusan Teknik Informatika FTI Universitas Islam Indonesia. Saya sempat baca percakapannya yang dimuat di Koran Tempo edisi Minggu (21/3/2010), beberapa waktu lalu. Luar biasa, ini contoh yang bisa diambil dari seorang lulusan salah satu perguruan tinggi idaman.

Saya yakin, Nico tidak berasal dari perguruan tinggi asal-asalan dengan silabus yang pas-pasan. Keputusannya untuk menekuni dunia blog bukan berarti pintu kerja yang sesuai dengan bidang keilmuwan yang pelajarinya sudah tertutup. Melainkan, ini tentunya berangkat dari keyakinannya secara pribadi. Seperti katanya dalam wawancara dengan Koran Tempo, ”Menjadi blogger bisa hidup dengan layak”. Dan dia sudah membuktikannya. Melalui blognya ia berbagi apa saja. Tentang aktivitas kesehariannya hingga tentang mobile learning yang juga menjadi bahan skripsinya dulu.  

Dari sini dapat kita lihat, proses pembelajaran di dalam kampusnya, Universitas Islam Indonesia, telah membantunya untuk memantapkan pilihannya, menjadi salah satu internet-preneurship. Karena, kegiatan blogging sendiri tak lepas dari semangat belajar untuk menggali hal baru dengan berbagi pengetahuan yang dimiliki.

Bahwa ilmu tidak harus tergembok dalam definisi literasi semata. Tidak pula harus pula mewujud seperti buku. Tapi, ilmu harus bisa menjiwai setiap lakon kehidupan yang akan dijalani oleh lulusannya pasca kampus.

Wah-wah.. luar biasa pemahaman sampeyan, Mas. Nggak nyangka saya. Terima kasih banyak untuk wawancaranya.

Sama-sama Pakde, saya juga senang bisa membagi pendapat. Kalo tulisan ini menang, tolong kabari saya ya...


Insya Allah..

2 comments

ga ada kata..selain..
keren!!!
gak salah terpilih jadi pemenang spesial..

salam kenal pak de

Trims Mbak, selamat juga udah menang juara pertama. Saya mendapat banyak ilmu dari tulisannya Salam..

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon