2014-08-18

Garam dan Telaga

Tags

Kisah Hikmah Garam dan Telaga
Kisah Hikmah Garam dan Telaga --  Syahdan, diceritakan pada suatu masa, tinggallah seorang guru yang bijak di kaki bukit. Seorang diri ia coba menyepi dan menyatu dengan alam, meninggalkan kebisingan dunia dengan segala godaannya. Saat pagi mulai merekah dan suara burung terdengar mencicit merdu, tiba-tiba datanglah seorang anak muda menyambangi kediamannya.

Sang guru bijak memperhatikan tamunya itu. Setelah mengucapkan salam, sang tamu segera duduk di teras. Kelihatan sekali olehnya, bahwa anak muda itu tengah dirundung banyak masalah. Langkahnya lunglai tak bersemangat dan air mukanya kusut. Sang guru menarik kesimpulan, orang ini sedang tidak bahagia.

Setelah dizinkan bicara, anak muda itu segera menceritakan segala permasalahan yang dihadapinya. Mulai dari keluarga, karir hingga ingin rasanya mengakhiri hidup saja.

Sang guru mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah sang tamu tuntas mengungkapkan cerita, ia lalu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil segenggam garam. Olehnya, garam tersebut ia larutkan ke dalam air putih di dalam gelas, “Coba, minum ini, dan katakan bagaimana rasanya,” ujar Sang guru.

“Uh pahit sekali”, jawab sang tamu kecut.

Sang guru tersenyum. Lantas ia memberi isyarat agar sang tamu mengikutinya. Merela kemudian berjalan ke luar rumah menuju tepian telaga di dekat hutan, tak jauh dari rumahnya. Setiba di saung pinggir telaga, sang guru lalu kembali menaburkan segenggam garam dalam jumlah yang sama seperti tadi ke dalam telaga.

Dengan bantuan ranting pohon, ia mengaduk air telaga tadi. “Sekarang, coba kau ambil air dari telaga ini, dan minumlah”. Sang pemuda pun turun meminumnya. Guru bijak itu berkata lagi, “Bagaimana rasanya?”.

“Segar, Guru”, tutur tamunya.

“Tidakkah kamu merasakan garam di dalam air itu?”, tanya guru itu lagi.

“Tidak”.

Sembari duduk di tepian telaga, guru itu kemudian menepuk pundak tamu itu dan berujar, “Anak muda, dengarlah. Pahitnya masalah yang kau hadapi dalam kehidupan, adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit itu adalah sama.”

“Namun ketahuilah, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Jadi sesungguhnya, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu, TERIMA semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.”

Guru iru kembali memberikan nasehat. “Hatimu, adalah wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Pundak pemuda tamunya itu, tampak turun. Seiring dengan perenungan yang terjadi pada bathinnya. Ia menganguk-anguk, tanda memahami apa yang dimaksudkan oleh sang guru. Betapa bijak perumpamaan yang diberikan. Ia pun menarik nafas dalam-dalam udara segar pagi itu. Dirasakannya tiap oksigen yang masuk memenuhi pari-parunya, dan ia hembuskan perlahan. Kini ia merasakan kelapangan yang nyata di dadanya.

Kini ia paham. Bahwa ia harus bisa melapangkan hati, untuk meredakan permasalahan yang tampak besar. Ia harus bisa berdamai dengan masalah yang dihadapinya sendiri.

Demikian kisah hikmah garam dan telaga, semoga kita bisa mengambil pelajaran darinya.

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon