2014-09-14

Kita dan Sosial Media

Kita dan Sosial Media

Sebelumnya ada Wimar Witoelar. Kemudian lama berselang ada Florence. Dan yang terakhir akun anonim @kemalsept yang membuat ulah di social media. Jika Wimar sebatas dilaporkan saja karena ulah gambar postingan Gallery of Rogue (Kebangkitan para Bajingan) yang menghina beberapa tokoh parpol, ulama dan ormas - tanpa ditahan.

Lain halnya Florence - mahasiswi S2 UGM yang menghina warga Yogyakarta - sempat ditahan sebentar untuk kemudian bebas atas jaminan dari pihak UGM dan ‘pengampunan’ Sultan HBX. Maka @kemalsept belum tersentuh, karena akunnya telah dihapus serta tidak ada jejak sama sekali yang tertinggal yang menjurus pada identitas aslinya di dunia nyata.

Akun ini menghina kota Bandung dan pribadi Ridwan Kamil selaku walikotanya
Tim Advokasi Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Prabowo-Hatta melaporkan Wimar Witoelar ke Badan Pengawas Pemilu (20/6) atas dugaan kampanye busuk.
Tapi benang merahnya adalah penggunaan sosial media yang tidak bijaksana. Nyinyir menyindir tapi ketahuan pandir. Melepaskan amarah tanpa titik koma, tanpa mempertimbangkan perasaan. Hanya mengedepankan kesumat nafsu. Seolah jika yang dihina membalas dan sakit hati maka terlampiaskan syahwat ocehan tak berotaknya.

Maka tak heran jika kemudian seorang netizen, menuliskan status di timeline Facebook. “Apakah perlu kita membuat pelajaran khusus Sosial Media?”.
Kita dan Sosial Media
Cuplian twit akun @kemalsept yang menghina.
Tentu saja ini pertanyaan retorika. Namun menggelitik untuk kita tanggapi bersama secara terbuka.

Saat sosial media mulai mewabah melalui pintu blog dan friendster, kita - khususnya masyarakat Indonesia - belum siap untuk menerimanya dengan pikiran terbuka dan menghargai perbedaan pendapat. Kita tergagap dengan kebebasan tingkat individu yang sudah menjorok ke dalam ruang paling pribadi ini.
Kita dan Sosial Media
Kemarahan mudah sekali dilontarkan hanya berbekal tombol ‘send’.
Padahal dalam prinsip komunikasi, prinsip keterhubungan antara penyampai informasi dengan penerima informasi - apapun media komunikasi yang digunakan, adalah masalah cara. Baik cara penyampaian, konten penyampaian dan persepsi penerima.

Niat baik dan konten penyampaian yang baik, mustahil akan menimbulkan persepsi buruk bagi penerimanya. Namun, jika sudah ada niat tidak baik, ditambah memang konten penyampaiannya sudah mengandung sumpah serapah, maka sudah pasti penerima informasi akan marah dan berang.
Mungkin saja, kita memang perlu diberi kursus mengenai etika bersosial media. Agar jangan sampai kejadian-kejadian buruk ini terus berulang. Kebebasan individu dibatasi oleh kewajiban sosial. Kebebasan mengeluarkan pendapat di tingkat personal dibatasi kewajiban untuk menjaga ketenangan bersama.

Hingga saat ini, sepertinya hanya produsen saja yang mampu memanfaatkan sosial media dengan baik untuk mempromosikan produknya. Selebihnya, masih banyak aksi bullying, caci-maki, sumpah serapah, aksi selfie, status galau, kosakata alay dan sebagainya yang muncul dari tataran akun individu. Yang baik mungkin ada, tapi segelintir.

Ustadz dan para ulama serta budayawan ‘putih’ juga memanfaatkan keampuhan sosial media untuk menyampaikan pesan dan nasihat mereka. Walaupun, tak hanya follower yang setia menerima nasihat. Aksi-aksi rendahan sebagaimana disebutkan di atas, tetap saja menerpa mereka para ulama.

Jika demikian, perlulah memang setiap pengguna sosial media untuk ditatar mengenai etika. Tentu hal ini jauh lebih baik daripada main blokir. Bukan begitu? (*)

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon