Ketika Mas Gagah Pergi, boleh jadi merupakan bacaan pertama bagi sebagian besar pecinta cerpen untuk mengenal sosok Helvy Tiana Rosa (HTR). Dari cerpen ini pula banyak pembaca, khususnya remaja putri, begitu tergugah dan menguatkan niat mereka untuk menutup aurat. Sebuah cerpen yang sangat menggugah dan mampu berbicara lebih, di saat remaja muslimah dibuai oleh cerita-cerita percintaan (monyet) yang hampa.
Namun, berkebalikan dengan yang lain, saya justru baru sempat membaca cerpen ini dua bulan silam. Sangat ketinggalan dibanding dengan yang lainnya. Walau begitu, tak urung air mata saya mengalir begitu mengurai isi cerpen ini. Begitu juga dengan istri saya, yang saya perlihatkan saat menunggu tes CPNS dimulai. Terasa kedahsyatan cerpen ini – yang walaupun jarak kepenulisannya dengan waktu saya membaca, kurang lebih 13 tahun, momentum yang ada dalam cerpen tersebut masih kuat.
Itu salah satu keuntungan bila kita mau menulis. Saya ingat ucapan sahabat Ali ra, ”Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Dan terbukti, menulis mampu mengekalkan ilmu serta melestarikan ide-ide kita. Apalagi bila yang kita tulis terebut adalah hal-hal yang baik, maka kapan pun tulisan tersebut membacanya, maka ilmunya akan mengalir terus. Sebagaimana pahalanya juga tak akan terputus.
Dan akan menjadi lebih lagi, bila kita mampu menulis dengan rasa. Sebuah rasa yang muncul karena didorong oleh cinta. Cinta hakiki seorang muslim terhadap tujuan yang ingin dicapai. Dan tujuan akhir yang ingin dicapai oleh seorang penulis muslim tentulah mardhotillah. Keridhaan Allah swt semata. Tulisan yang ditulis dengan hati, maka akan dapat pula menyentuh hati pembacanya. Tulisan yang tulus hanya mampu dinikmati oleh mereka yang berhati tulus pula. Tulus di sini berarti, kebaikan tidak akan tercampur dengan kebatilan. Bahkan berbanding lurus dengan sifat kebaikan itu sendiri. Yakni murni dan senantiasa memurnikan hati yang tersentuh olehnya.
Helvy Tiana Rosa dengan segala kelebihannya, menjadi salah satu fenomena mengagumkan dalam jagat sastra Indonesia. Beragam penghargaan yang diterimanya semakin membesarkan kekaguman saya terhadapnya. Lewat majalah Annida versi-versi awal, saya mengenalnya sebagai pimred. Ya, mau dilihat dari sudut manapun ia terlihat mengagumkan. Dari penulis ia sangat produktif, dilihat sebagai penyair, sudah ratusan puisi yang ia lahirkan. Dan yang terakhir saya terkagum-kagum, adalah keberhasilannya untuk melakukan pengkaderan penulis muda.
Di saat banyak penulis yang asyik sendiri dengan dunianya, dengan segala sifat dan perilaku yang tak patut ditiru, HTR justru mewujudkan cita-citanya untuk melahirkan penulis-penulis muda bergelombang sastra profetik lewat organisasi kepenulisan Forum Lingkar Pena (FLP). Di saat banyak penulis secara egois menawarkan pemikiran mereka kepada pembaca, tak peduli isi tulisannya itu apakah bermanfaat atau tidak. HTR justru membina secara rutin lewat berbagai konsep pelatihan yang tek lepas dari konsep keislaman.
Dari sini saya menyimpulkan, takkan mungkin seseorang mampu menggembleng begitu banyak orang dengan banyak pemikiran, bila tak didampingi tekad membaja dan ahlakul karimah yang baik. Keberhasilan HTR membina tak hanya keluar saja. Ke dalam rumah tangganya, HTR berhasil membuat salah seorang anaknya Faiz Abdurrahman menjadi penyair muda sekaligus telah berhasil menerbitkan buku. Artinya, ada benang hijau yang menghubungkan antara tekad seorang HTR dengan kemurnian daya juangnya untuk membentuk penulis. Tidak hanya dalam bentuk pelatihan formal melainkan juga dengan pendekatan personal.
Ketika usahanya mulai membuahkan hasil, ditandai dengan munculnya banyak karya penulis-penulis belia di bawah payung FLP. Tak urung mengundang komentar nyinyir dari penulis lain. Bahwa hasil karya penulis FLP tak ada yang nyastra. Dengan bijak, dan saya suka bagian ini, HTR menjawab, ”Mungkin benar karya anak FLP belum ada yang bagus, namun paling tidak tulisan mereka tidak merusak moral para pembacanya”.
Saya kagum.
Di lain waktu, ia berucap di salah satu wawancara, ” Karya sastra yang baik adalah yang tidak lepas dari estetika. Walaupun dia bernuansa keagamaan, harus tetap berestetika, jadi harus dibedakan dengan khotbah. Karya sastra, cerpen atau novel sangat berbeda dengan khotbah, walaupun ada muatan-muatannya tapi harus dibalut dengan estetika yang baik.”
Saya jadi tambah kagum.
Bagaimanapun perjalanan kepenulisan berbasis profetik akan berhadapan dengan hasil karya penulis yang cenderung sekuler-liberal. Untuk yang ini saya juga ingat dengan komentar penulis yang tengah naik daun, di salah satu rubrik Kompas edisi Jumat (5/2). Saat itu ia ditanya, ”Apakah Anda punya pesan moral kepada penulis muda?”
Penulis yang terangkat namanya melalui blog (yang terpilih sebagai pemenang blog terbaik di salah satu lomba) ini menjawab, ”Sejujurnya... tidak. Ha-ha-ha. Saya menulis tanpa pretensi untuk mengajarkan pesan moral, pesan hidup, atau pesan-pesan yang lainnya. Saya menulis dengan tujuan satu : saya ingin tulisan saya ketika dibaca membuat orang lain terhibur. Maka saya berusaha untuk membuat tulisan saya serenyah dan sebagus mungkin. Kalau memang ada pesan yang diambil orang melalui situ, itu murni kebetulan saja.”
Maka, seorang HTR berusaha menepis ironi kebanyakan penulis seperti ini. Penulis tidak selalu harus sekuler. Walaupun HTR sendiri menghormati pendapat bahwa sastra itu tidak beragama. Menjaga jarak dengan tulisannya sendiri. Tetapi sebagai seorang muslim, ia berpegang pada prinsip, harus ada pesan moral yang dapat disampaikan kepada pembacanya. Namun tentu kadarnya jangan sampai melebihi kewajaran. Ibarat bumbu, maka ia tak akan lebih banyak daripada masakan utamanya sendiri. Begitu juga dengan menulis, tanpa bumbu (pesan moral) maka tulisan memang akan terasa renyah namun hambar. Pun, bila bumbunya kebanyakan malah akan menghilangkan cita rasa (estetika sastra) dari masakan itu sendiri.
Saya jelas sangat bersyukur hidup di tengah semangat menulis HTR dan teman-temannya di FLP. Saya menjadi punya alternatif bacaan saat pergi ke toko buku. Tak harus melototi sampul novel-novel yang mengangkat tentang seks dan kekerasan semata. Karena Islam itu indah, maka kehadiran novel Islami ajan menjadikan Islam menjadi lebih indah lagi. Karena Islam itu lembut, maka sastrawan Muslim mempunyai kesempatan untuk melembutkan hati para pembaca melalui Sastra. Seperti kata Umar bin Khattab, ”Ajarkanlah sastra pada anak-anakmu, agar anak yang pengecut jadi pemberani.” Maka, kita butuh Sepuluh HTR lagi, atau mungkin seratus atau mungkin seribu. Agar sastra Indonesia tak perlu dikotori oleh penulis-penulis sekuler penganut gaya bebas. Agar lahir generasi baca yang pemberani.
Wallahualam bishawab.
Referensi :
- http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/05/04291949/ingin.membuat.orang.lain.terhibur
- http://www.perspektifbaru.com/wawancara/465
Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon