2009-12-22

Apa sih beda kartun dan karikatur?




Saya dulu sering diminta oleh teman-teman untuk dibuatkan ilustrasi untuk pamflet kegiatan mereka. Mereka sering asal menyebut. "Tolong buatin karikatur, gih" Awalnya, saya bengong. Lha karikatur, mana saya bisa. Kalo kartun sih, bisa dikit-dikit. Akhirnya, saya paham yang dimaksud adalah ilustrasi kartun. Sekedar pemanis dan lucu-lucuan saja.

Sampai saya bekerja sekarang pun, saya masih sering menemui bentuk salah kaprah ini.
Parahnya lagi, kadang yang ngomong ketinggian, "Enak pake animasi aja, biar halamannya lebih hidup."

Kening saya berkerut, "Lha kok animasi dipake untuk halaman, emang udah ada teknologi epaper?"
Ada-ada aja, padahal maksudnya, minta buatin ilustrasi kartun berwarna. Getho..

Ngemeng-ngemeng tentang kartun, Saya pernah ngisi semacam pelatihan menulis untuk FLP Sumsel . Agak melenceng, karena bahasannya ya tentang cara membuat kartun. Tapi saya pikir ini mungkin sesi hiburan, biar nggak jenuh dihantem dengan sesi pelatihan menulis melulu.

Materi tentang Beda Kartun dan Karikatur ini bisa kamu Download versi PDF-nya.

Definisi
Secara etimologis, kata karikatur berasal dari bahasa Italia, Caricare. Yang artinya melebih-lebihkan (exagregate). Kata caricare itu sendiri dipengaruhi oleh kata carattere, juga bahasa Italia, yang berarti karakter dan kata cara (Bahasa Spanyol) yang berarti wajah. Sedangkan dalam Encyclopedie Internasional, karikatur didefinisikan sebagai sebuah "satire" dalam bentuk gambar atau patung (Sumadiria : 2005). Dan dalam Encyclopedie Britaninica, karikatur didefinisikan sebagai penggambaran seseorang, suatu tipe, atau suatu kegiatan dalam keadaan terdistorsi — biasanya suatu penyajian yang diam dan dibuat berlebih-lebihan dari gambar-gambar binatang, burung, sayur-sayuran yang menggantikan bagian-bagian benda hidup atau yang ada persamaannya dengan kegiatan binatang.



Paling tidak, sebuah karikatur mesti dilukiskan dengan mengandung dua cirri : (1) adanya satire dan (2) adanya distorsi. "Satire" di sini diartikan sebagai sebuah ironi, suatu tragedi-komedi atau suatu parodi (Sibarani : 2001). Karena itu, di dalamnya dapat mengandung sesuatu yang janggal, "absurd", yang bisa menertawakan, tapi bisa juga memprihatinkan atau menyedihkan.

Dengan melihat ciri-ciri itu, ternyata Leonardo da Vinci dan Albrecht Durer telah memulainya sejak sekitar tahun 1550. Tentu saja, mereka memulainya dalam bentuk lukisan pada umumnya (baca: "fine art"), bukan seperti "coretan-coretan-seadanya" alias karikatur pada saat ini. Di Indonesia, Bung Karno termasuk salah seorang karikaturis pada zaman Belanda dulu. Dalam beberapa karikaturnya itu, ia biasa mencantumkan nama samarannya, Soemini.

Sedangkan istilah kartun berasal dari kata cartone (bahasa Italia). Istilah ini pada mulanya berarti sketsa corat-coret yang dibuat para seniman pada zaman Renaissance, sebelum mereka membuat karya seni berupa patung, lukisan, gambar rancang arsitekur, dan sebagainya. Gambar-gambar berupa coretan-coretan yang cuma berfungsi sebagai penghias halaman atau pemanis tulisan atau artikel dan tak mengandung peranan sosial politis di dalamnya disebut dengan sketsa. Adapun gambar yang merupakan hiasan untuk perlengkapan atau penunjang cerita dalam sebuah buku atau penulisan, maka lazimnya disebut dengan gambar ilustrasi. Keduanya bukan karikatur. Namun kedua jenis gambar ini bisa saja dibuat menjadi karikatur.

Dengan melihat apa yang dituliskan di atas, maka dapat dibedakan antara sebuah karikatur dengan sebuah gambar kartun yang selama ini banyak orang salah kaprah dalam membedakan keduanya—termasuk beda peristilahan antara karikaturis dengan kartunis. Begitu pula dengan anggapan keliru yang telah umum bahwa karikatur hanya ada dalam persuratkabaran. Padahal dapat dikatakan: sebuah karikatur sudah pasti sebuah kartun, sedangkan kartun belum tentu merupakan sebuah karikatur. Lantas apa bedanya?


Sifat Kartun dan Karikatur
Tentang sifat karikatur, Sibarani (2001) membagi karikatur menjadi tiga macam :

1. Karikatur orang-pribadi, yaitu menggambarkan seseorang (biasanya tokoh yang dikenal) dengan mengekspos ciri-cirinya dalam bentuk wajah ataupun kebiasaannya — tanpa objek lain atau situasi di sekelilingnya – secara karikatural.


2. Karikatur sosial, Karikatur sosial, sudah tentu karikatur jenis ini mengemukakan dan menggambarkan persoalan-persoalan masyarakat yang menyinggung rasa keadilan sosial.


3. Karikatur politik, adalah karikatur yang menggambarkan suatu situasi politik sedemikian rupa agar kita dapat melihatnyo dari segi humor dengan menampilkan para tokoh politik di atas panggung dan mementaskannya dengan lucu.

Sedangkan untuk kartun dalam penggunaannya dalam sebuah media massa, dibagi menjadi tiga kelompok (Wijana : 2003) :

1. Kartun editorial (editorial cartoon), yang digunakan sebagai visualisasi tajuk rencana surat kabar atau majalah. Kartun ini biasanya membicarakan masalah politik atau peristiwa aktual sehingga sering disebut kartun politik (Political cartoon). Contoh untuk jenis ini dapat dillihat dalam gambar 2 dan 3.

2. Kartun murni (gag cartoon), yang dimaksudkan sekedar gambar lucu atau olok-olok tanpa bermaksud menqulas suatu permasalahan atau peristiwa aktual. (Lihat gambar 4)

3. Kartun komik (comic cartoon), merupakan susunan gambar biasanya terdiri dad tiga sampai enam kotak. Isinya adalah komentar humoristic tentang suatu peristiwa atau masalah aktual. (Lihat Gambar 5)

Berdasarkan definisi di atas, baik kartun ataupun karikatur, masing-masing memiliki titik satiris. Bedanya, dalam gambar kartun, titik satiris itu tak ditekankan sebagai sesuatu yang dominan seperti halnya dalam karikatur. Kartun lebih mengutamakan humor ketimbang "satire". Kartun juga tak mengandung unsur distorsi. Kalaupun ada unsur distorsi, unsur itu bukan sesuatu yang diutamakan. Yang jelas, keduanya banyak dijumpai di suratkabar yang sama sekalipun.



Etika karikatur
Satu hal yang tak patut dilupakan, betapapun, dunia karikatur memiliki kode etik yang banyak tak diketahui orang termasuk oleh para karikaturis. Seorang karikaturis memang memiliki kebebasan mengemukakan temanya dengan gaya satiris humor yang khas, selama karikaturnya itu tidak vulgar atau amoral atau mengetengahkan cacat fisik manusia dan tidak pula kotor atau jorok. Selain itu, karikatur yang baik adalah karikatur yang paling hemat kata, bahkan kalau bisa tanpa kata sama sekali. Sebab karikatur berbeda dengan poster yang bisa saja (bahkan lazim) boros kata-kata.

Seorang karikaturis dapat mempengaruhi banyak orang dengan pesan dan kesan yang dimuat dalam karikaturnya, ia memiliki "kekuatan" dalam karikatur yang dibuatnya. David Low, karikaturis Inggris, sampai sekarang masih dikenal banyak orang sebagai seorang karikaturis yang (konon) pernah membuat Hitler tak bisa tidur akibat karikatur yang dibuatnya pada waktu Perang Dunia II berlangsung.

Thomas Nast, karikaturis dart Amerika Serikat, pernah dengan karikaturnya menjatuhkan seorang calon kuat presiden Amerika Serikat yang memiliki amoralitas mencolok mater pada masa kampanye.

Atau contoh dari dalam negeri, adalah ketika majalah Tempo (edisi November 2008) mengangkat permasalahan Aburizal Bakrie dan Lumpur Lapindo sebagai pembahasan utamanya. Yang menjadi permasalahan adalah pemuatan karikatur Aburizal pada bagioan cover yang diceritakan membasuh mukanya yang belepotan Lumpur. Naasnya, Lumpur yang digambarkan mencair membentuk sederetan angka 666. Yang bagi sebagian orang disebut sebagai angka setan!

Begitulah dampak yang tajam dari sebuah karikatur, kadang-kadang mengundang orang, badan atau instansi bertindak emosional, bahkan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki, untuk menanggapi sebuah kritik sosial dalam gambar. Sehingga sangat masuk akal bila kemudian dikatakan bahwa kartun (politik) menjadi sesuatu yang unik, multifungsi dan heterogen. Jean Romnicianu (1996) dalam sebuah pengantarnya mengemukakan bahwa seni karikatur adalah seni yang sulit, kejam, berbahaya, sekaligus bermanfaat.

Sulit, karena jenis seni ini menuntut sang seniman untuk mencari cacat dan kebutaan suatu masyarakat yang notabene dia sendiri sebagai bagian dari masyarakat itu. Sebelum meledek orang lain harus bisa meledek diri dan semua orang tahu justru itulah yang paling sulit.

Kejam, karena tawa (menertawakan orang lain) itu tak pernah menjadi tawa yang balk hati. Kalau dipikir-pikir, orang hanya menertawakan sesuatu yang melukai dirinya sendiri atau orang lain. Seolah-olah tawa bukan manifestasi dari kesenangan belaka, tapi juga merupakan pertahanan melawan kepedihan.

Berbahaya, karena meledek orang lain adalah cara terbaik mencari musuh bebuyutan. Namun, kartun dapat bermanfaat karena kartun merupakan cara terbaik, yang cepat ditangkap, yang paling terbaca, untuk melihat sesuatu yang abnormal. Selain itu, kartun juga berguna sebagai pengungkap kebenaran yang tak kenal ampun.

Dalam pengertian lain, kartun sangatlah ditentukan oleh siapa yang berdiri di belakangnya. Karena pada satu saat kartun dapat menjadi penyejuk, pembela kebenaran, dan penegak keadilan, tapi pada saat yang lain bisa menjadi alat propaganda yang menyakitkan. Tentu kita masih ingat dengan kartun Nabi Muhammad SAW yang diterbitkan oleh harian Denmark Jyyland-Posten lalu?

Sangat tidak mirip dan lagi sangat-sangat menghinakan! Mereka tentu sangat tidak menduga akan munculnya gelombang reaksi sedemikian dahsyatnya di seluruh dunia. Ini menjadi pelajaran bagi kita semua, bahwasanya menuangkan ide sebagai bagian dari pengekspresian karya dalam bentuk apapun, termasuk kartun dan karikatur, perlu dibatasi oleh nilai-nilai kesopanan dan ahlak. Khususnya akhlak ketimuran yang kita miliki saat ini.

Kerawanan SARA (Suku, Agama, Ras, Antar-Golongan) mengingatkan karikaturis Indonesia supaya dalam penyajiannya tidak kelewat tajam, menyesatkan dan menyakitkan hati. Jika Anda karikaturis pemula, usahakanlah membuat karya seni itu lebih luwes, bijaksana dan punya dampak positif bagi si pembaca, si penerima atau siapa saja demi kelanggengan pertumbuhan karikatur Indonesia. Seperti yang disampaikan oleh Sudarta (1987) dalam Sumadiria (2005), sebuah karikatur barulah disebut efektif apabila karikatur itu telah menjalankan fungsinya, yaitu karikatur harus membuat senyum untuk semua. Senyum untuk yang dikritik agar tidak marah, senyum untuk masyarakat yang merasa terwakili aspirasinya dan senyum untuk sang karikaturis karena tidak terjadi apa-apa.

-----
Referensi
1. Sibarani, Augustin. 2001. Karikatur don Politik. Isai, Garba Budaya & Media Lintas inti Nusantara. Cet. I. Jakarta
2. Sumadiria, A.S. Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia. Simbiosa Rekatama Media. Cet. I. Bandung
3. Banjarnahor, Gundar. 1994. Wartawan Freelance. Jakarta
4. Wijana, I Dewa Putu. 2003. Kartun : Studi tentang Permainan Bahasa. Penerbit Ombak. Jogjakarta
-----

Download versi PDF


3 comments

apa ch bedax karikatur 5 kartun tu

ijin copast ya kaka. nama kaka pasti aku cantumin kok =))

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon