2011-12-08

Disabilitas dan Pandangan Masyarakat - Sebuah Renungan

Seperti pada tulisan saya sebelumnya, mengenai Disabilitas dan Pandangan Masyarakat, ada satu hal yang mengerucut dalam pikiran saya. Apakah kita bisa mewujudkan peranan yang memadai bagi para penyandang disabilitas tanpa bantuan negara? Karena terus terang, kepercayaan saya terhadap pemerintah, dalam hal ini dengan perangkat birokrasinya berada dalam titik nadir. Mendekati minus.

Tak hanya menyangkut masalah bagi para penyandang disabilitas dan bagaimana pandangan masyarakat saja, melainkan seberapa besar komitmen dan konsisten pemerintah dalam memperhatikan aspek-aspek kehidupan para penyandang disabilitas ini.

Jangankan untuk mereka para penyandang disabilitas, pemenuhan kebutuhan bagi kaum berpenglihatan normal saja (aparat birokrasi) pemerintah masih acakadut. Sarat kolusi dan korupsi. Sudahlah anggap saja negara ini memang sudah salah urus sejak zaman penjajahan. Jangan berharap muluk-muluk. Negara ini hanyalah ajang perebutan kekuasaan semata. Ideologi hanya uang dan jabatan.

Mari kita berpikir dengan logika otak sederhana saja sembari merenung. Anggap saja kita saat ini tengah kembali saat sekolah dulu. Bawalah pikiran kita, anda dan saya ke sekat ruangan kelas 1 SD. Di mana saat pikiran kita telah sampai di ruangan kelas, suasananya saat itu tengah pembagian rapor kelas. Riuh-rendah, diselingi pekik dan obrolan para siswa yang sudah tak sabar lagi menerima deret nilai dan tentu saja ranking yang ada di dalam rapor tersebut.

Saat-saat seperti ini, adalah saat yang merindukan bagi kita semua. Entah kita mendapat ranking atau tidak. Entah nilainya bagus semua, atau merah terbakar. Atau biasa-biasa saja. Yang pasti semua akan menerima rapor dan besoknya akan dimulai libur panjang. Tidak ada yang memikirkan mengapa bisa demikian?

Mungkin saat itu kita tidak sempat berpikir tentang perbedaan kecerdasan. Tentang perbedaan IQ, EQ, ESQ atau perbedaaan gizi yang diasup sehingga bisa pintar atau  apalah. Tapi yang pasti, saat ini, saat kita tengah membaca tulisan ini dan membayangkan kita terlempar kembali ke masa lalu, sekarang kita baru mengerti. Mengapa ada yang bisa rangking satu. Mengapa ada yang biasa-biasa saja. Mengapa mereka yang berasal dari ekonomi kaya cenderung selamat dari kobaran nilai rapor merah. Dan mengapa anak-anak dari kalangan tak mampu, cenderung apa adanya. Asal sekedar sekolah atau masih untung bisa sekolah di tengah himpitan ekonomi yang seret. Apalagi misalnya dengan kondisi tubuh tak lengkap menyandang disabilitas.

Mungkin sudah menjadi hukum alam, anak-anak pintar itu sedikit. Yang bodoh pun sedikit. Justru yang paling banyak adalah anak-anak yang berkecerdasan rata-rata. Dari empat puluh siswa yang menghuni satu kelas. dengan sangat mudah akan diperingkat sebagai anak berotak cerdas sebanyak 5 orang. Yang mungkin memelihara angka merah di rapornya ada tiga orang. Sisanya, sebanyak 32 orang nilainya rata-rata dan menyebar. Idealnya, seorang wali kelas seharusnya bisa mengkondisikan para siswanya untuk memiliki kesetiakawanan dengan teman-temannya. Yang pintar membantu yang berotak rata-rata. Yang cerdasnya rata-rata air, bisa membantu menyederhanakan penjelasan dari teman mereka yang sangat cerdas kepada teman-teman yang kebakaran rapor.

Ya, mungkin ketiga anak dengan rapor terbakar, malu untuk bertanya dengan yang pintar. Minder, takut nanti dijelaskan pun tetap tidak mengerti. Tapi paling tidak mereka bertiga ini punya salah seorang teman dari kalangan siswa berkecerdasan rata-rata. Sehingga, pendistribusian pengetahuan sebagai bentuk kepeduliaan bisa mengalir lancar tanpa hambatan berarti.

Semoga logikanya nyambung ya. Jadi, miniatur kelas tadi bisa kita analogikan ke kehidupan sosial bermasyarakat di Indonesia Raya yang tercinta ini. Dari sekitar 240 juta penduduk Indonesia, yang menjadi penyandang disabilitas dan keterbatasan lainnya, menurut catatan Kementrian Sosial ada 3,11%, sedangkan menurut Departemen Kesehatan terdapat 6% sementara WHO menyampaikan jumlah penyandang disabilitas dari negara - negara berkembang yaitu sebesar 10%. Itulah salah satu bentuk kekecewaan saya terhadap negara yang salah urus ini, tak ada data statistik yang akurat. Ah sudahlah, anggap saja hasil sensus WHO-lah yang layak kita pakai.

Berarti ada 24 juta jiwa penyandang disabilitas. Maka ada 216 juta jiwa yang beranatomi lengkap. Anggap saja -- masih mengikuti analogi dari siswa SD tadi, 12,5% nya yang tidak cukup waktu untuk peduli dengan urusan penyandang disabilitas dan pandangan masyarakat terhadap mereka, maka masih ada 189 juta jiwa lagi yang bisa didekati untuk peduli kepada para penyandang disabilitas dan menepis pandangan masyarakat yang cenderung negatif.

Kartunet sebagai miniatur departemen Sosial yang kredibel dan profesional

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon