Prita Mulyasari dan keluarga http://gamil-opinion.blogspot.com |
Sentakan kasus ini seakan kembali menyadarkan semua pihak, bahwa kebebasan menyatakan pendapat masih terbelenggu dan masih harus terus diperjuangkan. Terlalu dini untuk mengatakannya final. Dan terlalu prematur pula bila disebut Indonesia sudah ramah dalan hal kebebasan berekspresi di internet.
Sejarah panjang negeri ini bermula sebagai Negara agraris. Wajar kemudian bila secara sosio-antropologis, kehidupan yang berlaku menjadi feodal. Dan fakta ini harus diakui, walaupun katanya sekarang sudah dikenal sebagai negara demokratis semenjak keberhasilan penyelengaraan pemilu secara langsung. Eukuh pakewuh itu ada. Tenggang rasa, tipo saliro dan toleransi tetap harus dikedepankan. alasannya, kepentingan yang lebih besar harus tetap terpelihara. Bentuk-bentuk mikro dari penghambatan ini ternyata mendarah daging dan mampu meredam hasrat untuk mengungkapkan segalanya.
Namun, perubahan tingkat kecerdasan dan taraf kehidupan serta kemudahan berkomunikasi menjadikan hambatan-hambatan tersebut menjadi hambar. Ada namun tak terlalu terasa. Apalagi, saluran ekspresi seakan menemukan bentuknya di dunia internet. Di mana, penetrasinya menunjukkan peningkatan mengagumkan serta mampu menembus ruang-ruang pribadi antar penggunanya.
Hambatan terbesar justru datang dari atas. Kehadiran Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian lebih familiar dikenal sebagai UU ITE, menjadi momok bagi kebebasan berekspresi di sini. Adanya pasal karet tentang kemungkinan pencemaran nama baik, memungkinkan pihak-pihak tertentu memanfaatkannya sebagai pasal yang multitafsir.
Termasuk dalam kasus Prita Mulyasari versus RS Omni Internasional. Pelayanan rumah sakit yang seharusnya sesuai standar dan etika profesi yang ada ternyata menyisakan celah bagi pasiennya. Dan ini yang dikeluhkan oleh seorang Prita. Bermula dari sekedar curhat ke seorang teman via email lalu menyebar ke semua kolong jagat virtual, mengalir lewat saluran-saluran yang ada.
Curhat tetaplah curhat, ada pengalaman psikologis tentang ketidakadilan di dalamnya. Namun di mata pihak lain, terutama mereka yang menjadi sasaran tembak dari curhat tersebut, mudah sekali disampirkan sebagai pencemaran nama baik. Sekalipun, dari sisi pribadi seorang Prita, bisa jadi kerugian yang diterimanya sekarang lebih dari sekedar pencemaran nama baik. Dan itulah ‘jebakan’ dari UU ITE di atas. Prita menjadi korban.
Tapi begitulah. Kebebasan berekspresi di internet mungkin masih kikuk untuk dilakukan terang-terangan bahkan untuk sekedar anonym. Atau mungkin juga terlalu mahal akibatnya untuk diterapkan di sini. Apa boleh buat. Istilahnya, jaga dapur masing-masing. Jangan sampai terlalu senewen hingga mengungkapnya ke ranah publik, yang dapat berakibat kita harus berurusan dengan hukum dan pihak yang lebih kuat.
Lalu bagaimana dengan mereka yang sudah duluan dan tengah berhadapan dengan hukum saat ini? Tentu dibutuhkan advokasi dari pihak-pihak terkait. Pasal hukum dan undang-undang masih menjadi makanan pihak eksklusif dengan kemampuan intektual di atas rata-rata saja. Sementara di masyarakat bawah dan menengah, permasalahan hukum tidak dapat dikatakan bersentuhan langsung.
Sosialisasi atau edukasi mengenai suatu hukum atau undang-undang tak pernah segencar tentang kampanye KB misalnya. Tak seluwes seperti saat vendor telekomunikasi mempromosikan layanan gratis SMS ke sesama. Hal ini tentu perlu dipikirkan kembali oleh pihak legislatif agar produk hukum dan undang-undang dapat tersosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat. Tentu saja pembahasaannya bisa dibuat lebih pop lagi. Tidak harus kaku dan ribet. Sebagaimana selama ini, sosialisasi di media-media massa, ditulis blek apa adanya dengan struktur formal. Jangankan dibaca, ditengok pun tidak saat membalik halaman.
Bagaimana pun masyarakat perlu dibuat melek hukum. Jangan sampai, hukum baru disadarkan ke masyarakat saat ia sudah menghantui dalam bentuk hukuman.
Kembali ke kasus ibu prita tadi. Tidak bisa dimengerti bagaimana kasus ini bisa terus berlanjut. Padahal publik mengetahui, Prita dan pihak RS Omni Internasional telah sepakat berdamai dan mengakhiri permusuhan serta di tingkat Pengadilan Negeri Tangerang, Prita dinyatakan bebas murni. Mengapa Kejaksaan masih harus mengajukan kasasi. Apakah ini siasat, ataukah trah hukum memang seperti ini? Siasat maksudnya, di saat masyarakat telah menurun antusiasmenya karena merasa sudah menang, maka inilah waktunya untuk menjatuhkan vonis dalam bentuk kasasi. Mudah-mudahan permasalahan ini bisa dijernihkan.
Hanya mereka yang benar-benar konsen dengan masalah hukum dan kebebasan berekspresi saja yang akan setia terus mengawalnya. Termasuk kemungkinan untuk mengajukan judicial review terhadap pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE.
|
Logo Koin Keadilan (Sumber : angingmammiri.org) |
Ini masalah popularitas. Gerakan masif menemukan bentuknya dalam wadah jejaring sosial. Hanya di sinilah banyak massa berkumpul. Mereka mungkin tidak kenal sebelumnya. Namun rasa prihatin dengan rasa keadilan yang ternoda, menjadikan mereka sapu lidi yang kuat, yang mampu mengundang elemen bangsa lain untuk turut serta bersih-bersih sampah keadilan.
Begitu juga dengan kebebasan berekspresi di internet. Satu suara individu tak akan mampu berbuat banyak. Tak lebih seperti surat pembaca di koran-koran yang halus suaranya, nyaris tak terdengar. Dan menjadi hampa saat mendapat jawaban normatif dari pihak yang dituju.
Namun, begitu satu suara individu tadi mendapat efek viral berupa forward lewat jalur komunikasi virtual yang ada, maka ia menjadi tekanan yang kuat.
Kebebasan berekspresi atau saya lebih suka menyebutnya sebagai kebolehan berpendapat, hanya akan memperoleh efek viral jika dan hanya jika bila disuarakan pada masyarakat maya yang berkumpul dalam bentuk milis, grup, atau jejaring sosial.
Kebebasan berekpresi vs kebolehan berpendapat
Kondisi menyatakan pendapat mungkin belum familiar di sini. Apalagi jargon seperti 'Bebas Bicara Bung!', 'Kebebasan berekspresi di internet', masih terdengar terlalu berani di alam Indonesia yang sarat aturan moral ini. Bagaimana bila kebebasan bereskpresi diganti jargonnya menjadi 'kebolehan berpendapat'? Mungkin ini terdengar lebih santun. Dan bila setuju, istilah ini akan memberikan turunan penyesuaian di belakangnya.
Kata 'kebebasan' memberikan definisi yang berarti bebas mau apa saja. Bebas mengkritik, berkomentar, atau apa saja. Terserah apa saja yang menjadi komentar. Sakingnya, hal-hal kecil, tak perlu dan terkesan sepele pun, bisa dikomentari. Lupa, kalau tulisan bisa memberikan efek hiperbolis, lebih besar dari kenyataan yang ada.
Padahal, kebebasan kita sebagai hak dibatasi pula dengan kewajiban untuk menghormati hak orang lain. Dalam hal kenyamanan dan bebas dari ketersinggungan. Kita baru mampu menerapkan kebebasan namun belum menyempurnakannya dengan bertanggung jawab. Kebebasan tanpa tanggung jawab, hanya akan menyulut sikap anti aturan (anarki). Kekerasan verbal.
Sedangkan bila kita menggunakan 'kebolehan berpendapat', rasanya lebih sejuk. Sehingga ada semacam kontrol dari dalam diri, bolehkah kita menuliskan hal ini, adakah yang bakal tersinggung dan seberapa siap kita mampu memberikan jawab dan menyiapkan data pendukung bila kemudian kita ditanya otentitas tentang tulisan pendapat kita tadi?
Ribet? Betul akan ribet. Tapi hal ini lebih baik daripada kita takluk dan tunduk kepada lembaga sensor. Ini bisa menjadi salah satu tips untuk kita, supaya 'aman' mengekspresikan pendapat di internet. Toh, kita kan hanya ingin menyuarakan pendapat supaya menjadi share bagi orang lain, bukan ingin dipenjara?
Jadi, penjaminan negara atas berserikat dan kemerdekaan menyatakan pendapat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28F UUD 1945, harus terlebih dahulu diawali dengan kesadaran akan tanggung jawab atas pendapatnya dan mengerti akan resiko yang mungkin bisa muncul setelahnya.
Apapun itu, proses pendewasaan memang terus berlangsung. Tak semudah membalik telapak tangan, namun dukungan dari semua pihak serta konsistensi dalam menegakkan peraturan hukum yang ada, semua akan menjadi lahan yang kaya humus untuk menyuburkan proses kebebasan berekspresi di internet, untuk Indonesia yang lebih baik.
7 comments
Menurutku bagus Pan. Pertanyaan kuyung, apa kamu sudah siap masuk ke ranah penulisan semacam kritik sosial itu?
Alasannya
1. tulisan yg sifatnya kritikan, apalagi masuk ranah hukum harus lebih dipertimbangkan lagi..
2. Kalau sekedar empati, boleh saja sifatnya
3. Kalau kuyung pribadi, lebih senang Arpan menulis seperti yang kemarin-kemarin dan membawa manfaat pada orang lain tentang dunia maya atau kartun cerita hidup.. karena di situlah bedanya.
4. Maksud kuyung, Arpan sudah ambil jalan lebih dulu dan beda dari yang diambil orang kebanyakan dan pertahankan itu. Sekali lagi itu yang membuat kamu beda.
Good Luck..
Trims Yung.. Insya Allah menjadi perbaikan untuk ke depan..
istilah kebebasan berekspresi ataupun kebolehan berpendapat mempunyai pengertian yang nyaris sama, walaupun dengan penyampaian yang berbeda. hal ini hanya dibedakan oleh asas 'kepantasan' yang dianut oleh budaya timur.
kebebasan berekspresi di internet bagai dua sisi mata uang. di satu pihak hal ini bagus sebagai bibit munculnya demokrasi, namun di sisi lain, sekali lagi dan harus ditekankan, adanya asas 'kepantasan' yang dianut budaya timur.
kearifan sikap dalam menyatakan pendapat ke ranah publik mutlak diperlukan. proses pembelajaran akan terus berlangsung dan perbaikan peraturan menyatakan pendapat juga akan terus berjalan. apapun, mari bersama-sama tetap membangun 'kecerdasan' bangsa ini.
#anonim
Yak, sepakat. Memang masih perlu pembelajaran mengenai kebebasan berbicara di Indonesia. Karena bagaimanapun Indonesia adalah sebuah keunikan sendiri sebagai sebuah bangsa di Timur
Salam!
Selamat atas keberhasilannya menempati salah satu posisi juara, selalu menjadi yang terbaik. Trims...
Selamat atas kemenangannya, sukses selalu.
#Dwi Wahyudi dan Blogger Media
Trims untuk ucapannya, salam blogger !!
Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon