Edan! Maut! Nekat! Gila!
Entah idiom apalagi yang bisa saya sampirkan untuk Komik Opini bertajuk 'Hidup Itu Indah' terbitan Cendana Art Media. Terus terang saja, baru kali ini saya membaca buku yang mampu mengulek-ulek perasaan saya jadi gemas, geram, tersinggung atau malah latah ikut-ikutan untuk memberi label 'sesat' atau yang lebih halus sedikit 'mbeling' untuk pengarangnya!
Awalnya, saya tertarik untuk membaca buku ini karena dipromosikan oleh Mas Beng Rahadian, 'bapaknya' Abdul Selotif di wall Facebook. Beliau ini salah satu kartunis favorit saya. Saya kirain ini karya Mas Beng, tapi ternyata cuma sebatas editornya saja.
Trus, baru terakhir-terakhir ini saya berkesempatan memesannya via bukabuku.com. Penyebabnya, lewat Comical Magz edisi September, terpampang headline 'Aji Prasetyo : Komikus yang Dikafirkan'. Waduh! Saya jadi penasaran, apa yang menyebabkannya mendapat labelisasi seperti itu.
Diawali dengan komik singkat tentang Obituari untuk sahabatnya, buku ini diawali dengan Bab I yang bertajuk Hidup Itu Indah. Saya lahap komik dan narasi opininya dengan bergairah. Semuanya menceritakan tentang aspek sosial, kisah pertemanan, dan kisah-kisah terpinggirkan lainnya. Kenapa bergairah? Karena gambarnya bagus-bagus, tanpa ada rasa manga sama sekali. Berasa lokalnya. Tulisannya pun enak banget dibaca, khas tulisan pemerhati sosial.
Oya, buku ini diberi klasifikasi komik opini. Pas sekali, karena isinya, ya komik - ya opini. Disebut komik yang menyampaikan opini komikusnya. Atau benar-benar opini yang menjauhi bahasa gambar, berupa tulisan artikel. Tapi semuanya tetap menyenangkan untuk dibaca dengan pikiran terbuka.
Kenapa harus terbuka? Karena, begitu anda memasuki Bab II Komoditi itu Bernama Agama, mulailah emosi pembaca dimain-mainkan oleh ide-ide 'liar' sang pengarang, yang ternyata tidak berprofesi murni sebagai komikus.
Semuanya dapet giliran untuk dihujat - tak perlu lagi memakai bahasa halus 'disentil' misalnya. Karena, Aji sendiri tak sungkan membiarkan kalimat-kalimat khas garis keras, dipakai dalam dialog ataupun narasi komiknya. Sebut saja radikal, teroris, bidah dan kafir dan sejenisnya.
Orang yang mempunyai pemikiran semacam FPI atau aktivis muslim fanatik, pastilah akan tertampar keras dengannya. Bahkan, beberapa opini yang diangkatnya, menjungkirbalikkan kemapanan berpikir sekaligus menyerang secara frontal kaum agamawan (Diwakili dalam opini Setan Menggugat atau yang ini Down to Earth Yuk?), politisi (Adalah Tema yang Membosankan) atau bahkan orang media sendiri (Suatu Siang di Depan Televisi; de Reality Show)
Benar-benar harus bisa menerima perbedaan pendapat bila ingin membaca buku ini. Kalau tidak, saya sarankan jangan baca! Masih banyak buku lain yang bisa memberi manfaat untuk Anda.
Tapi ya dasar manusia, semakin dilarang semakin besar keingintahuannya. Ya sudah, silahkan tanggung sendiri akibatnya!
Saya tidak berada dalam posisi untuk mengatakan karya Aji Prasetyo ini salah atau benar. Walau, di bagian hati kecil saya ada beberapa fragmen dan cerita yang benar-benar menyinggung secara frontal. Tapi okelah, saya anggap itu bagian dari kebebasan berpendapat.
Bahwa buku Hidup Itu Indah terlalu nekat (bukan hanya berani) saya jawab IYA! Wilayah yang dibahasnya jelas menyerempet wilayah kritis yang bisa saja 'membahayakan' jiwanya. Oh tidak, saya tidak mengancam. Tapi pilihan Aji untuk mengangkat radikalisasi agama Islam tentu sudah pasti akan menyinggung kelompok dan kalangan tertentu.
Sebenarnya banyak tema yang dibahas oleh Aji secara indah, diluar tema-tema sensitif di atas. Ada tentang Potret pendidikan anak miskin, benturan budaya Barat-Arab-Lokal. Tentang Perang Jawa (Diponegoro) tentang sinetron dan lainnya. Namun tetap saja, kegeraman seorang Aji terhadap aliran Islam garis keras tertentu yang dengan mudahnya mengkafirkan, membidahkan, menghalalkan darah muslim yang tidak sepaham terasa kuat sekali meledak-ledak di sini. Semoga ini sebatas opini yang diharapkan menjadi perhatian semua pihak. Bukan sekedar muntahan kemarahan yang dijiwai oleh kebencian.
Sekali lagi, karya Aji Prasetyo ini anggap saja sebagai sebuah hasil kreativitas, tidak perlu ditanggapi secara berlebihan. Apalagi sampai main vonis. Bersikap elegan tentu lebih baik. Kalau tidak suka, jangan teruskan membacanya. Kalau merasa ada yang perlu diklarifikasi, silahkan langsung ke pengarang. Punya kemampuan menganalisis dan punya teman bisa menggambar komik? Oh, itu malah keren bila mampu mengcounternya dengan buku dan medium yang sama. Saya malah bersedia berkolaborasi (*Promosi gratisan he-he..) Dengan demikian makin banyak karya-karya cerdas yang bisa disandingkan secara sehat dan tak perlu maen bakar atau maen gontok-gontokan.
Menjelang akhir bukunya, Aji Prasetyo cukup cerdas untuk menetralisir emosi pembacanya dengan menghadirkan kisah 'Boneng and The Gang' di bagian akhir. Tidak dalam bentuk komik ataupun kartun, melainkan mirip sebuah cerpen. Salut untuk keberanian seorang Aji dalam beropini!!
Palembang, 05 Oktober 2011
2 comments
Saya dari Medan dan jujur sudah 4 kali buku pak Aji saya baca berulang2 karena jarang ada komik yang mampu membuat saya berpikir serius dan mencermati setiap isi per kalimat dan per guratan nya apakah itu ekspresi karakter yg digambarkan ataupun ketebalan pensil yg menggambar beberapa kalimat dengan tekanan yg lebih kuat atau lebih halus dibanding kalimat lainnya.
Pertama kali membaca, saya tergelitik dan perasaan saya terasa diaduk2 karena humornya
Kali kedua saya baca ulang ketika itu saya mulai merantaikan pesan dalam buku ini dengan kehidupan nyata kita. Saya merasa sedikit aneh dengan komik pak Aji ini karena bukan lagi menyentuh tetapi sudah menggrebek semua hal hal yg memang sesungguhnya ada dalam hidup ini. Setiap hal yang dibahas di "hidup itu indah" adalah hal hal yang memang sesungguhnya ada dan sedang terjadi dalam kehidupan kita. Tidak kita pungkiri dikarenakan semua orang dewasa dengan cara yg berbeda tentunya tidak adil untuk harus kita paksakan semua orang itu berpendapat sama satu dengan lainnya, maka berdasarkan pemikiran inilah saya mengerti bahwa apa yang baik dan apa yg tidak baik untuk seseorang sangatlah berbeda apabila ditilik dari sudut pandang yg berbeda pula. Tetapi lain halnya dengan apa yang "benar" dan apa yang "salah" karena menurut saya secara pribadi manusia lahir dan tumbuh dihutan pun apabila melihat makhluk lain kesusahan atau terluka pastinya akan timbul perasaan iba dalam hatinya. Itu merupakan kodrat yg standar dari semua manusia. Sama halnya dengan (maaf) binatang yg ditinggal mati oleh ibunya tetapi masih berusaha menjilati pipi ibunya berharap ia akan bangun. Itu adalah ridho tuhan keoada kita. Perasaan yg sebenarnya saling mengasihi dan bening.
Namun seiring pendewasaan yg masing masing kita alami, banyak dari kita yang masih mampu melihat aoa yg benar dan apa yg salah tetapi telah terlanjur dibesarkan pada jalur tertentu yg menjadikan kita menolak hati kecil kita dan mulai menutup pintu hati kita.
Hal hal yg dibahas pak Aji menurut henat saya adalah keadaan yg harus kita tilik menggunakan hati nurani kita. Pendapat tentang apa yg benar dan salah sering muncul saat saya membaca buku ini. Dan bisa dikatakan saya setuju 100% dengan opini pak Aji.
Namun aoabila saya membacanya dengan menaruh diri saya pada jalur tertentu dahulu, tentunya saya telah menutup kesempatan untuk memahami pendapat PAk Aji, karena belum belum saya sudah memilih standing saya dulu dan takkan heran begitu sedikit standing saya ini terusik atau membaca sesuatu yg tidak sependapat dengan standi g saya makan semua senjata perang didalam benak saya akan siap perang. Itulah mungkin yg menjadi sebab kritik dan label label yg tidak membantu ataupun membangun itu.
Selanjutnya kesekian kali ya saya baca buku ini supaya saya ingat apabila suatu hari saya perlu menjelaskan sesuatu kepada teman dan saya tidak perlu membaca dari buku.
Terima kasih sekali lagi pak Aji.
Semua yg anda bahas adalah hal2 yg sesungguhnya semua orang sadari tetapi tidak pernah bisa diutarakan. Semacam ilham didalam benak kita yg selalu telah ada disana saat kita membaca koran ataupun mendengarkn berita tetapi tertutul oleh proses pendewasaan kita dan tanpa pernah kita sadari ad disana. anda berhasil mengutarakan mereka dalam buku anda.
Saya tunggu vol. 2!
Wah, panjang kali komentarnya Bang Kosen Pang..
Betul sekali Bang, karangan Mas Aji memang berbeda dari yang lain dan luar bisa. Saya juga sudah beberapa kali membacanya, dan memang benar untuk ke sekian kali, emosi saya mulai mengendur dan lebih bijak dalam menghadapi opininya.
Namun, masih menyisakan sekian persen untuk mengkritisi ulang pemikirannya. Sah-sah saja bukan?
Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon