Islam terdiri dari lima perkara. Setidaknya sedari kecil kita telah dididik dengannya. Bahwa Islam itu adalah (1) Mengucapkan dua kalimat syahadat, (2) Menegakkan shalat, (3) Menunaikan Zakat, (4) Melaksanakan haji dan (5) Berpuasa di Bulan Ramadhan. (HR Turmudzi dan Muslim/Lihat hadist ke-3 Hadist Arbain).
Foto : Anton Dakarola/DSIM |
Dengan kelima pilar tersebut, keislaman didirikan. Baik sebagai individu maupun Islam secara keseluruhan. Kalimat tauhid yang terangkum dalam kalimat syahadat, sering kita baca di dalam shalat. Dan ia ditempatkan dalam urutan pertama, karena merupakan ikrar akidah seorang Muslim. Di urutan kedua ada shalat yang menjadi pembeda umat muslim dengan umat lainnya. Kemudian selanjutnya, ada kewajiban zakat yang mengikat umat Muslim setelah shalat.
Tak kurang ada puluhan ayat yang menggandengkan antara shalat dan zakat.
Selanjutnya, pilar keislaman diperkuat oleh ibadah haji. Namun tidak semua orang dapat langsung menunaikannya. Karena ia terikat dengan waktu, tempat dan juga biaya. Biaya haji terus merangkak naik setiap tahunnya. Dan mereka yang mendaftar belakangan ini, harus rela antri dan diberangkatkan dua atau tiga tahun mendatang. Walau demikian, minat orang untuk menunaikan ibadah haji tidak surut.
Yang terakhir pilar puasa di bulan Ramadhan. Ia menjadi semacam ibadah pemungkas yang unik. Karena, dengannya Allah menjanjikan level ketakwaan. Dan Allah sendiri yang akan membalasnya.
Dari sekian banyak pilar di atas, pilar yang paling popular adalah haji. Walaupun mahal dan berat, namun janji haji mabrur dan titel haji ketika kembali ke tanah air, membuat ibadah ini menjadi demikian diminati. Setidaknya memberikan pengaruh terhadap status sosial di mata masyarakat.
Sedangkan pilar yang sering dianaktirikan adalah ibadah zakat. Bahkan saking tidak populernya, zakat sering dikerdilkan sebatas zakat fitrah. Padahal sebagaimana ayat di atas, shalat dan zakat seharusnya tidak dipisahkan. Sebagaimana kehidupan dunia dan akhirat tidak perlu mengalami dikotomi. Islam bukanlah sebagaimana pandangan kaum sekularisme yang menghendaki pemisahan antara kehidupan pribadi dengan kehidupan publik. Atau seperti pialang, yang memisahkan bisnis dengan moral. Atau seperti para politikus, yang memisahkan antara kepentingan orang banyak dengan kepentingan partainya.
Berdasarkan kitab-kitab fikih klasik, zakat dikenali ada beberapa macam. Yakni zakat mal, zakat pertanian, zakat peternakan dan lainnya. Sedangkan dalam kajian fikih kontemporer muncul zakat profesi, zakat perdagangan sebagai bentuk fleksibiltas ilmu fikih dalam takaran keadilan memandang semakin variatifnya jenis profesi yang ditemukan sekarang.
Lantas, mengapa zakat menjadi tidak populer? Banyak pakar dan analis muslim menyebutkan, ketidakpopulerannya disebabkan karena yang menikmati ‘hasil’ dari ibadah zakat ini adalah orang lain. Bukan orang yang berzakat.
Seperti ibadah shalat, langsung merasakan manfaatnya di dirinya sendiri, tergantung tingkat kekhusyukannya. Haji, bahkan orang sekampung menjadi tahu tentang status sosialnya sekarang.
Namun, tidak dengan zakat. Maksudnya, manfaatnya tidak dirasakan langsung. Karena, dalam prakteknya mereka dilarang untuk mengungkit-ungkit pemberian kepada orang lain. Ini masalah keikhlasan. Saking ingin ikhlasnya, dan benar-benar tidak berasa, pemberian derma dibuat sedemikian kecil nyaris tak bernominal. Dalam kisaran 500 hingga seribu perak saja. Mereka berlindung kepada pemahaman makna ngawur dari kata ikhlas tadi.
Pola pikir sedemikian, ikut membantu membenamkan pilar zakat dalam pusaran ketidak berdayaannya. Zakat menjadi terasingkan di tangan seorang muslim sendiri. Ia dikerdilkan sebatas zakat fitrah. Ia dibebankan kepada para petani saja melalui zakat pertanian. Adilkah bila petani yang berkotor-kotor di sawah bermandi keringat di bawah terik matahari dengan hasil tak seberapa, harus mengeluarkan zakat antara 5% - 10%. Sedangkan mereka yang ngadem di ruangan AC, dengan pekerjaan hanya menorehkan tanda tangan, tidak terkena kewajiban zakat profesi?
Begitulah. Zakat seakan menjadi pemanis di akhir Ramadhan saja. Selebihnya zakat menjadi sangat tergantung dengan ‘hidayah’ atau iming-iming bahwa zakat dan sedekah kita akan dilipatgandakan oleh Allah, sepuluh seratus hingga tujuh ratus kali lipat. Ah, betapa bakhilnya kita terhadap Allah. Padahal ia telah melingkupi hidup dan bumi ini dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya. Wallahualam bishawab.
Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon