Tak mudah mendefinisikan sebuah perguruan tinggi sebagai tempat kuliah impian. Yakni perguruan tinggi idaman bagi banyak orang. Semua bergantung sudut pandang masing-masing pihak. Yang tentunya akan semakin individual dalam memaknainya.
Setiap pihak bisa memberikan labelisasi ini. Namun secara garis besar, keinginan itu akan terpetakan ke dalam tiga sudut pandang. Yakni dari sudut pandang akademisi, mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus. Karena, menurut saya, ketiga komponen inilah yang menjadi kunci kesuksesan dari pencapaian beberapa perguruan tinggi favorit Indonesia.
Dari pihak akademisi, mereka tentu berharap kampus tempat mereka mengabdi, mampu berbicara lebih banyak dalam tataran ilmiah dan cukup berpengaruh dalam pergaulan di ranah civitas akademika. Otomatis, segala bentuk sarana dan prasarana pendukung haruslah memadai. Dan sebisa mungkin up to date mengiringi perkembangan yang ada.
Sedang di sisi mahasiswa, kampus mereka mampu memberikan banyak kelebihan dan keuntungan bagi mereka. Terutama dalam hal biaya kuliah yang ringan, fasilitas penunjang pembelajaran yang mumpuni, serta dosen pengajar berkualitas. Dan yang terakhir, muara yang jelas dari studi yang mereka tempuh. Hasil belajar mereka selama bertahun-tahun dapat langsung diserap oleh dunia kerja. Atau dengan kata lain, bisa langsung diterima bekerja sesuai dengan bidang ilmu yang ia pelajari.
Sementara, dari sudut pandang masyarakat yang berdomisili di sekitar kampus. Mereka ingin merasakan manfaat secara luas dari kehadiran perguruan tinggi di lingkungannya. Bukan sekedar munculnya ladang usaha baru seperti usaha kos-kosan, rental, fotokopi dan sebagainya. Karena, hal seperti ini biasanya hanya menguntungkan dari segi materi-konsumtif. Ketimbang peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, termasuk kaum marjinalnya. Pola lama hanya memberikan keuntungan kepada mereka yang bermodal besar. Sedangkan masyarakat asli, yang biasanya berpendapatan rata-rata air, hanya menjadi penonton saja. Ini tentu saja tidak adil.
Keberadaan tiga komponen ini bila bersinergi dengan baik akan melahirkan power yang luar biasa. Tetapi dengan syarat, perguruan tinggi harus mempunyai konsep yang jelas dan implementasi keilmuwan yang berwawasan pemberdayaan lingkungan. Dengan demikian, mereka akan dengan mudah melakukan riset yang riil. Bukan sekedar berangkat dari tataran wacana penuh teori. Dan mungkin ini bisa menjadi persyaratan bagi sebuah perguruan tinggi untuk menjadi sebuah perguruan tinggi terbaik.
Sementara, mahasiswa akan semakin kaya dengan studi kasus yang benar-benar berangkat dari kondisi riil pula. Yakni studi kasus dari kondisi yang sedang terjadi di sekitarnya, apapun bidang ilmu yang ia pelajari. Dan bukan sekedar menunggu sesuatu terjadi baru bergerak. Tetapi mampu pula memprediksi permasalahan yang bakal muncul serta inovasi yang bisa disumbangkan. Dan hal ini diuntungkan dengan keberadaan ragam fakultas eksakta dan non-eksakta. Keduanya bisa bekerjasama memberikan kontribusi nyata, sesuai dengan kahlian dan disiplin ilmu masing-masing.
Semangat berperilaku ilmiah, masih amat kurang dalam jiwa seorang mahasiswa Indonesia. Karena kecenderungan mencari nilai terasa lebih utama daripada pendalaman materi secara mandiri. Seharusnya, dengan bimbingan dosen dan peran kehadiran study club mahasiswa bisa lebih kritis dalam menyikapi perkembangan masyarakat di sekitar kampus. Kegiatan seperti survey dan riset lapangan, tidak seharusnya dilandasi dengan semangat mencari nilai semata. Namun sebaiknya, kegiatan-kegiatan eksperimen seperti ini, melahirkan inovasi-inovasi. Baik dalam hal cara maupun hasil.
Namun, tidak sepenuhnya pula ini menjadi keterbatasan mahasiswanya semata. Akses ke fasilitas kampus terutama laboratorium, peralatan lapangan dan arsip, cenderung dibatasi. Atau bahkan dikaburkan. Sehingga, seolah-olah laboratorium itu hanya milik asisten dosen atau kakak tingkat yang tengah menyelesaikan penelitian tugas akhir.Padahal, ketika sebuah ilmu telah mampu diimplementasikan ke tengah masyarakat. Maka paripurnalah keberadaan ilmu itu. Masyarakat yang menerima manfaatnya, tentu akan merasakan kegunaan dari keberadaan kampus di wilayahnya. Dengan demikian, masyarakat akan merasa dekat dan rasa memiliki yang kuat terhadap kampus. Sehingga, label mahasiswa tidak melulu diingat tatkala mereka berdemo memblokir jalan saja atau lewat aksi sosial. Yang sekali lagi, tidak ada sangkut paut dengan aktivitas ilmiah kampus.
Dengan sinergi seperti ini, keberadaan institusi kampus akan semakin dihormati, mahasiswanya akan semakin disayangi dan masyarakatnya sendiri bisa menjadi marketing kampus secara tidak langsung dengan memberikan informasi positif begitu ada yang bertanya. Dan dalam jangka panjang, nilai kampus dengan sendiri akan meningkat secara psikologis, di luar akreditasi yang diberikan oleh BAN-PT. Siapa yang tak menginginkan bisa berkuliah di perguruan tinggi idaman seperti ini?
Lalu bagaimana bila hal ini kita kaitkan dengan keberadaan Universitas Islam Indonesia? Dengan label Islam, apakah spesifikasi keilmuwan yang ada tidak bisa menerapkan apa yang dibahas di atas?
Sepanjang pengetahuan saya, Universitas Islam Indonesia merupakan alih rupa dari Sekolah Tinggi Islam (STI). Namun, bukan sekedar metamorfosis semata. Sejak tahun 1948, tepatnya tiga tahun setelah didirikan (1945), STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia. Dengan perubahan ini, kampusnya yang berlokasi di Yogyakarta menjadi lebih lengkap dalam hal fasilitas dan cabang disiplin ilmu berupa penambahan program eksakta untuk memenuhi syarat menjadi sebuah universitas.
Dari web resminya, saat ini Universitas Islam Indonesia memiliki 17.000 mahasiswa yang tersebar di berbagai program studi. Pada tahun akademi 2010/2011 ini Universitas Islam Indonesia memiliki 8 (delapan) Fakultas dengan 5 (lima) program Diploma III (D3), 21 (dua puluh satu) program studi strata satu (S1), 3 (tiga) program profesi, 7 (tujuh) program strata 2 (S2) dan 3 (tiga) program strata 3 (S3). Sebagian terbesar dari mereka mendapat akreditasi A dan B dari Badan Akreditasi Nasional (BAN-PT).
Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Pihak kampus tinggal secara terus menerus memberikan edukasi kepada masyarakat. Bahwa perubahan tersebut tidak akan menghilangkan warna islami darinya. Melainkan justru memperkuat pencitraan, bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Ia bisa masuk ke semua pintu selama tidak bertentangan dengan kaidah keilmuwan Islam yang universal. Sesuai visi Universitas Islam Indonesia, yakni belajar di Universitas Islam Indonesia adalah proses penanaman nilai, akhlak dan pembelajaran ilmu pengetahuan bagi siswanya agar mereka dapat berkontribusi dalam memperbaiki kualitas lingkungan di masa depan, atau menjadi insan yang mampu mengemban misi rahmatan lil 'alamiin.
Dengan demikian, penerapan nilai-nilai pemberdayaan lingkungan oleh sebuah institusi perguruan tinggi bisa juga dilakukan oleh universitas yang berbasis Islam seperti Universitas Islam Indonesia, misalnya. Dengan nilai historis kampus di belakangnya selama 45 tahun, Universitas Islam Indonesia tinggal terus membudayakan inisiatif ketiga komponen yang disebut di atas. Yakni, pihak Universitas Islam Indonesia sendiri, mahasiswa dan masyarakat sekitar kampus. Memang tak mudah mewujudkannya, sebagaimana tak mudah pula bagi saya untuk ikut menyumbangkan ide terbaik guna meramaikan Lomba Blog UII ini. Karena saya pikir, apa yang saya tuangkan dalam tulisan, banyak atau sedikit telah dilakukan oleh pihak kampus.
Tapi, dengan segala pengalaman yang telah didapat selama ini, Universitas Islam Indonesia telah membuktikan mereka telah berada di jalur yang tepat dalam usaha menjadi perguruan tinggi idaman.
Wallahualam.
---
Referensi :
1. http://pmb.uii.ac.id
2. http://unisys.uii.ac.id
1 comments so far
Berkunjung menjalin relasi dan mencari ilmu yang bermanfaat. Sukses yach ^_^ salam dari teamronggolawe.com
Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon