2010-03-19

“PS Tarkam” VS “Profesional FC”

Tags

             Siapa yang tidak mengenal Squad Sriwijaya FC (SFC)? Peraih double winner di musim 2008 dan juara Copa 2009. Masyarakat Sumsel gegap gempita menyambut kemenangan pertama dalam sejarah persepakbolaan nasional. Tapi sayang, saya tidak termasuk yang berada dalam barisan fanatik itu. Karena ada ironi yang cukup menyesakkan. Yakni, kenyataan bahwa dari seluruh personil SFC hanya menyisakan satu pemain asli Sumsel. Itu pun harus menerima nasib duduk sebagai pemain cadangan. Artinya tidak dimainkan pada pertandingan, sebagai pemain utama. Pahitnya lagi, hanya sering dimainkan ketika SFC berlaga dalam tanding eksibisi (persahabatan) saja.

            Jadi, niat baik mendatangkan pemain luar dan asing sebagai katalisator bagi perkembangan sepakbola daerah menjadi tak bermakna. Makanya, saya tidak berminat menulis tentang SFC. Sudah banyak media besar yang mengulas ‘kedigjayaan’ SFC ini. Jadi saya tidak perlu latah memberitakannya.

            Saya cuma ingin menyoroti keadaan sepakbola di kampung halaman saya, Sekayu, Musi Banyuasin. Kurang lebih 124 km sebelah utara Kota Palembang. Dulu, sekitar tahun 2004 kompetisi bola kaki amatiran alias antar kampung (tarkam) marak di kota saya ini. Terutama menjelang Agustusan. Setiap kampung yang ada mengirimkan utusannya. Dan yang menjadi sponsornya tentu saja pihak pemrintah daerah setempat. Sebut saja kesebelasan dari Kampung Lima Sekayu (Limas), Perumahan Pemda (ORGIPP), dan sebagainya.

             Belum lagi bila musim kemarau menjelang. Sungai musi yang menyurut, membuat permukaan pasir muncul ke permukaan. Masyarakat sekitar biasanya menyebut ‘pantai pasir musiman’. Jadi, selain permainan sepakbola pada umumnya, juga diselenggarakan sepakbola pantai. Dengan aturan yang tidak kaku. Alias disesuaikan dengan kebutuhan dan kesepakatan bersama antara tim yang turun.

              Saya kalau mengingat-ingat ini, menjadi senyum sendiri. Terbayang alangkah lucunya tingkah polah para pemain amatiran ini. Berlatih hanya menjelang Agustusan dan bermain dengan skill teknik alakadarnya. Walau begitu, pemerintah setempat mengapresiasi perlombaan dengan menyediakan hadiah yang cukup wah. Baik berupa tropi, uang atau pun berbentuj barang.

              Namun sayang, romantisme ini harus berakhir. Euforia keberhasilan pelaksanaan PON XVI (2004), telah mendorong Gubernur Sumsel saat itu, Syahrial Oesman membeli Persijatim dan mengganti namanya menjadi Sriwijaya FC, telah mendorong berbagai pihak berusaha memperbaiki perhatian kepada olahraga sepakbola ini. Tak terkecuali bagi Pemkab Musi Banyuasin yang dikomandoi oleh Alex Noerdin. Maka dididirikanlah pusat pembibitan pemain sepakbola profesional melalui Sekayu Youth Soccer Academy (SYSA).

              Ada yang salah? Memang tidak ada, mungkin saya yang harus disalahkan. Tapi sebagai bagian dari warga ‘amatiran’ saya juga berhak menuntut dikembalikan romantisme pertandingan antar kampung. Karena,. Dengan didirikannya SYSA ini, maka perhatian pemerintah lebih terfokus pada sekolah ini. Dibanding, memeriahkan kegiatan sepakbola tarkam antar warga. Mungkin keinginan saya ini menjadi semangat utopis saja. Kehadiran sepakbola profesional memang mampu meningkatkan citra sebuah daerah di kancah sepakbola nasional. Namun, jangan lupa masyarakat juga butuh bentuk hiburan lain yang merakyat. Yang menuntut masyarakat menjadi pelaku olahraga bukan sekedar suporter saja. Pencitraan bukanlah makanan bagi seorang rakyat kecil.

              Memang, menghidupkan kembali semangat berkompetisi tarkam bukanlah tindakan yang populis. Malah mungkin bisa menjadi penghamburan dana APBD. Tapi, bagaimanapun masyarakat butuh permainan yang tidak terkotak dalam bingkai profesionalisme saja. Masyarakat olahraga butuh ekspresi yang bisa menyalurkan energi positif mereka. Sehingga, kompetisi antar kampung tak harus hilang dengan kehadiran sekolah sepakbola dan tim profesional. Jangan sampai Sekayu kembali sepi hanya karena masyarakatnya lebih memilih duduk manis di depan kotak televisi menyaksikan siaran langsung ketimbang turun ke lapangan menyaksikan atau malah ikut bermain sepakbola di lapangan seadanya.  

Atau apakah harus dibuat pertandingan ‘PS Tarkam’ versus ‘Profesional FC’?



---
Tulisan ini saya buat untuk mengikuti even Selocalsoccer di Kompasiana kerja bareng dengan Sony Ericsson. Mohon dukungannya ya dengan jalan memberi komen di link berikut ini :

1. Kompasiana.com

2. Sonyericsson.com/exratime Untuk versi english-nya.

Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon