2013-01-31

Air yang Menghidupkan Kearifan Lokal

Tags

Air dan Kehidupan_Distribusi air di bumi
Sumber : http://ga.water.usgs.gov
Sejak awal sekolah, kita telah diajari tentang pentingnya air. Di antaranya adalah fakta bahwa, air menutupi 70% permukaan bumi. Lalu, tubuh manusia itu 2/3-nya adalah air. Siklus metabolisme mahluk hidup pun tak jauh dari keberadaan air. Sekalipun hewan tersebut tinggal dan menetap di gurun paling gersang sekalipun (bisa dibayangkan seperti dalam film kartun favorit anak saya, Oscar Oasis), ia masih membutuhkan air.

Aneka kehidupan kita sebagai manusia pun tak jauh dari air, mulai bangun tidur hingga beranjak tidur lagi. Bangun tidur, minum seteguk air putih, lalu mencuci tangan, berwudhu. Mandi, mencuci pakaian, memandikan anak, sarapan, di kantor, di kantin, jajan di jalan semuanya tak lepas dari air. Pulang aktivitas, rasa letih di kaki, segera sirna saat segayung air menyapu tiap ruas tubuh, mencuci kaki.

Mengacu kepada hukum kekekalan energi, maka keberadaan air yang menganut Energi Potensial berdasarkan posisinya, maka 'seharusnya' jumlah air di bumi ini adalah tetap. Hanya persoalan musim dan peredaran bulan yang mengatur posisi air sebagai sebuah sunnatullah (hukum Alam).

Itu seharusnya.

Kenyataan saat ini, musim sudah tidak bisa lagi ditebak. Bila kearifan lokal dahulu, menyebutkan bahwa bulan yang diakhiri dengan kata -ber, merupakan musim penghujan. Maka saat ini, di akhir bulan Januari kita disuguhkan dengan pemandangan banjir di Jakarta beserta daerah lain di nusantara. Dan kembali pula kepada pelajaran kita dahulu di bangku sekolah, semua terjadi akibat kesalahan tangan manusia yang menimbulkan efek rumah kaca.

Maka inilah saat pembuktian itu, saat di mana karbondioksia membungkus permukaan bumi, mengurung tiap panas yang dihasilkan dan meningkatkan suhu rata-rata permukaan bumi dan mencairkan es di daerah kutub bumi. Maka kacaulah siklus musim. Kalau sudah begini, air menjadi mematikan. Padahal, seharusnya air itu menghidupkan bukan?

Masyarakat agraris juga tidak melepaskan diri dari keberadaan air. Seperti masyarakat Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan kebanyakan masyarakat yang hidup di pesisir Sungai Musi lainnya,  yang dahulu hidup dan bergantung dengan keberadaan Sungai Musi. Setiap rumah dibangun dalam bentuk rumah panggung.


Dahulu, menurut cerita Orangtua saya, sebagian besar rumah  menghadap langsung ke sungai Musi sehingga, enak sekali dipandang dari arah sungai (sampai sekarang di daerah-daerah pedalaman masih dijumpai rumah yang menghadap ke sungai Musi ini). Keberadaan teras rumah yang menghadap ke sungai ini, secara psikologis pun akan memberi kesadaran kepada penghuni rumah untuk menjaga kebersihan dan kerapihan rumah karena 'malu' bila dilihat orang yang lewat menggunakan perahu.

Tapi sekarang berubah, sebagian besar muka rumah sudah menghadap ke jalan, sedangkan giliran dapur dan kamar mandi yang pindah menghadap ke Sungai. Ditambah lagi, sekarang lebih banyak rumah beton yang mengisi bantaran sungai dibanding rumah panggung. Akibatnya, kearifan lokal dijungkalkan oleh modernisasi yang menganut simplifikasi dan penggampangan.

Karena dapur identik dengan pembuangan, maka segala macam sampah domestik dengan mudah terbang ke sungai. Lewat saluran air, lewat jendela lewat celah dinding, semuanya begitu mudah. Maka berpindahlah sampah rumah tadi ke sungai dan membentuk endapan sendiri sebagai bagian proses pendangkalan sungai bertahun-tahun kemudian.

Saya baru sadar tentang mengapa rumah panggung yang dibangun, bukan menimbun lalu dibangun rumah permanen di atasnya. Saya menyandarkan pada rumah nenek saya yang sudah empatpuluh tahun lebih berdiri di sisi Sungai Musi, belum pernah kemasukan air walau banjir sekalipun!

Kuncinya adalah kearifan lokal dalam menyikapi datangnya air pasang. Saya menduga-duga, orang-orangtua dahulu sudah bisa menebak arah kenaikan air sungai bila meluap, berdasarkan pengalaman mereka berhubungan dengan air sungai. Hingga puluhan tahun kemudian, air tak masuk ke rumah. Walaupun sederhana, namun kayu yang digunakan cukup kokoh menghadang setiap hempasan air yang datang. Air pasang pun tak terhalang haknya untuk menggenang, karena di bawah rumah, air masih bisa mengalir dengan tenang.

Begitulah, dengan kearifan lokal, orang-orang tua kita dahulu telah mengajarkan bagaimana bersahabat dengan alam. Bersahabat dengan sungai, yang telah memberikan banyak kemanfaatan dari dalam perutnya. Karena air sekali lagi tak lepas dari kehidupan. Banyak - sedikit jumlahnya sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia.

Perlakuan terhadap sumber air pun menjadi tolak ukur kearifan kita. Musim kemarau tidak kekeringan, musim banjir tidak merugikan. Karena begitulah seharusnya hubungan kita dengan air. (*)



Makasih ya udah mampir ke blog Pakde. Besok-besok dateng lagi..
Monggo diisi feedback komennya di bawah ini
EmoticonEmoticon